JAKARTA – VIDA baru saja merilis hasil laporan serta riset terkait bisnis digital di Indonesia. Penyedia platform identitas digital terverifikasi tersebut mengungkap setidaknya terdapat 4 tipe penipuan digital.
Sebagai informasi, VIDA mengeluarkan laporan yang berjudul “Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Businesses from AI-Generated Digital Fraud”.
Berdasarkan hasil riset, sebanyak 100 persen pelaku bisnis di Indonesia mengaku khawatir terhadap meningkatnya ancaman penipuan berbasis kecerdasan buatan (AI) seperti deepfakes.
Meski begitu, 46 persen dari mereka belum memahami cara kerja teknologi tersebut. Laporan tersebut menyoroti empat jenis penipuan digital yang paling banyak menyerang bisnis di Indonesia, yakni penipuan berbasis teknologi AI (deepfakes), rekayasa sosial (social engineering), pengambilalihan akun (account takeovers), serta pemalsuan dokumen dan tanda tangan.
Dengan empat industri yang paling terpengaruh secara signifikan adalah Perbankan & Fintech, Multifinance dan Pembiayaan Konsumen, Asuransi, dan Kesehatan.
“Seiring dengan meningkatnya kecanggihan teknologi, pelaku bisnis harus mengambil langkah proaktif untuk melindungi pelanggan, proses bisnis, dan reputasi dalam lanskap digital yang terus berubah. Sebuah solusi anti-fraud yang terintegrasi tidak hanya memperkuat keamanan, tetapi juga membangun kepercayaan pelanggan yang berkelanjutan di era digital,” kata Niki Luhur, Founder dan Group CEO VIDA melalui keterangan resminya.
Untuk menjawab tantangan ini, VIDA meluncurkan Identity Stack, sebuah solusi yang dirancang untuk mengatasi penipuan, terutama dalam transaksi digital di Indonesia.
Solusi ini diklaim mampu menurunkan tingkat penipuan identitas hingga 99,9 persen, memberikan perlindungan yang lebih baik bagi proses bisnis dan memastikan pengalaman pengguna yang lancar. Berikut 4 tipe penipuan digital dan potensi kerugiannya:
1. Penipuan Identitas Digital (Identity Fraud)
Dipicu oleh penipuan digital yang semakin canggih dan memanfaatkan teknologi AI dan deepfake, 56% pelaku bisnis di Indonesia telah mengalami penipuan digital. Bentuk penipuan identitas yang canggih ini menimbulkan risiko serius karena merusak kepercayaan dan meningkatkan potensi kehilangan data bagi bisnis, masalah pada hubungan antar stakeholders, dan hancurnya reputasi.
Ketika penipu semakin canggih, whitepaper menyarankan agar bisnis dapat mengadopsi langkah-langkah pencegahan untuk mengatasi ancaman digital.
2. Rekayasa Sosial (Social Engineering)
Masyarakat di Indonesia seringkali menjadi korban berbagai jenis penipuan rekayasa sosial. Serangan phishing telah menjadi ancaman yang semakin umum dijumpai, kasus ini telah menjangkiti 67% pelaku bisnis di Indonesia.
Smishing, ancaman serupa yang dilakukan melalui SMS, telah berdampak pada 51% pelaku bisnis, sedangkan vishing—penipuan melalui suara—telah menargetkan 47 persen pelaku bisnis.
Angka ini menunjukkan urgensi akan kebutuhan terkait sistem keamanan siber yang aman dan kesadaran masyarakat untuk mengatasi ancaman yang ada di sekitar ini.
3. Pengambilalihan Akun (Account Takeovers)
Account takeovers terjadi saat pelaku memanfaatkan kata sandi yang lemah dan kurangnya otentikasi multi-faktor melalui serangan credential stuffing dan phishing.
Hal ini muncul sebagai isu yang paling marak terjadi, dimana 97 persen pelaku bisnis melaporkan upaya peretasan akun. Industri seperti keuangan, fintech, dan e-commerce sangat rentan terserang karena banyaknya informasi berharga yang dimiliki, seperti data pribadi para nasabah.
4. Pemalsuan Dokumen dan Tandatangan (Document and Signature Forgery)
Jenis penipuan ini tidak hanya merusak kesahihan dokumen pelanggaran data, namun dapat merusak reputasi perusahaan, mengurangi kepercayaan nasabah, dan menjadi penyebab kerugian finansial terbesar besar. 96 persen pelaku bisnis telah mengalami kasus pemalsuan dokumen dan tandatangan. (Red)