Oleh : Maulidya Nabila Sanusi, Mahasiswa Universitas Pamulang Prodi Sastra Indonesia
Dalam negara yang menganut asas demokrasi, unjuk rasa atau aksi demonstrasi merupakan salah satu elemen yang penting dalam iklim demokrasi, karena pada dasarnya sistem pengawasan sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas, efektifitas, dan keaktifan sistem demokrasi itu sendiri. Tanpa adanya fungsi pengawasan dan kontrol dari masyarakat, sebuah pemerintahan akan dianggap sebagai anti-kritik atau bahkan bersifat otoriter. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, demonstrasi atau unjuk rasa adalah pernyataan protes yang dilakukan secara massal.
Demonstrasi adalah suatu unjuk rasa yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam menyuarakan aspirasinya. Dalam UU No. 9 Tahun 1998 pasal 1 ayat 3 yang mengatakan bahwa demontrasi atau unjuk rasa adalah kegiatan yang dilakukan seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
Demonstrasi memang merupakan salah satu bentuk pengawasan dan lahan kritik untuk pemerintah, oleh karena itu pada dasarnya bentuk unjuk rasa harus dilandasi oleh nilai, substansi, tujuan, dan manfaat yang bisa dihasilkan dari kegiatan tersebut
Demontrasi sebagai unjuk rasa yang dilakukan masayarakat, dapat dikatakan sebagai suatu gerakan sosial.
Demontrasi juga dapat dikatakan sebagai penyaluran aspirasi yang merupakan hak dari setiap orang atau kelompok dan itu merupakan sebuah partisipasi politik yang dianggap tinggi (baik) dan sebagai perwujudan dari sebuah demokrasi, sebagaimana dikatakan Tri Pranadji dalam Jurnal “Aksi Unjuk Rasa (dan Radikalisme) serta Penanganannya dalam Alam Demokrasi di Indonesia” bahwa aksi unjuk rasa di muka umum secara konstitusional merupakan bagian dari perwujudan demokrasi yang sehat.
Seperti yang terjadi pada tanggal 08 Oktober 2020 dimana para demonstran yang terdiri dari sebagian besar Mahasiswa dan para Pelajar melakukan aksi unjuk rasa didepan Gedung DPR untuk meminta DPR agar mengabulkan tuntutan-tuntatan antara lain penolakan UU Cipta Kerja.
Unjuk rasa yang dilakukan oleh para Pelajar tersebut, dapat dikatakan partisipasu murni/otonom atau mobilisasi. Sebagaimana terdapat dua bentuk partisipasi, yaitu partisipasi otonom dan partisipasi mobilisasi.
Gerakan para pelajar dalam demontrasi tersebut, menarik untuk diamati, mengingat para pelajar dianggap terlalu muda, bukan ranah mereka dalam penyaluran aspirasi tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa gerakan demontrasi para pelajar tersebut dapat dianggap anomali, karena dalam Undang-Undang nomor 24 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa anak-anak usia di bawa 18 tahun dilarang untuk mengkuti aksi unjuk rasa.
Namun berdasarkan konvensi PBB tentang hak-hak anak tahun 1989 menjamin hak setiap anak untuk berbicara dan didengarkan pendapatnya, termasuk dalam masalah politik, serta melindungi mereka dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, dan kerusuhan sosial.
Dalam aksi demonstrasi yang dilakukan para pelajar, selain dinilai dari aspek gerakan sosial dapat pula ditinjau dari askpek partisipasi politik. Dapat dikatakan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pemimpin negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Partisipasi Politik yang dilakukan para Pelajar dalam gerakan Demonstrasi pada tanggal 08 Oktober 2020 dianggap menarik, karena banyak mendapatkan perhatian publik. . Namun hasil penelitian terbaru EACEA (2013) bahwa generasi muda mampu mengemukakan preferensi dan minat mereka terhadap politik. Sebagian dari mereka bahkan lebih aktif dari kebanyakan generasi yang lebih tua. Mereka juga menginginkan agar pandangan mereka lebih bisa didengar. Oleh sebab itu publik menaruh simpati dan dukungan kepada para pelajar agar aspirasi mereka dapat didengar dan menunjukkan bahwa para pelajar juga ikut berpartisipasi dalam hal Politik.
Partisipasi Politik para Pelajar ini pada tanggal 08 Oktober 2020 dianggap memobilisasi, karena pengaruh dari media sosial seperti Whatsapp atau media sosial lainya. Bahwa media sosial seperti Whatsapp dapat memobilisasi dan jaringan komunikasi. Hal ini terlihat pada peristiwa aksi 212 yang terdahulu.
Selain para mahasiswa yang menjadi peserta aksi demonstrasi ini, ternyata ada juga para pelajar yang ikut dalam unjuk rasa kali ini. Para pelajar dengan seragam sekolah mulai ikut merapat dalam barisan para mahasiswa. Mereka datang dari berbagai arah untuk sama-sama ikut andil dalam aksi unjuk rasa ini.
Kehadiran para pelajar ini menjadi sebuah fenomena yang unik, karena para pelajar tersebut menjadi perbincangan di pemberitaan maupun di dunia maya. Ada yang berpendapat bahwa turunnya para pelajar pada aksi demo ini menegaskan bahwa mereka ternyata memiliki kepedulian terhadap situasi negara, walaupun baru duduk di bangku sekolah. Namun ada juga yang menganggap kehadiran para pelajar pada aksi demo ini hanya mengkuti arus tanpa paham apa substansi dan nilai-nilai tuntutan yang dikemukakan oleh para demonstran.
Walaupuan ada banyak perspektif mengenai para pelajar yang mengikuti aksi unjuk rasa ini, fenomena ini cukup menyita perhatian publik yang bahkan hampir menyamai pemberitaan mengenai isu dan tuntutan unjuk rasa.
Mulai dari media sosial hingga media televisi mengabarkan tentang aksi para pelajar. Itu dianggap oleh publik sebagai anomali dari sebuah gerakan yang khususnya aksi unjuk rasa, dimana biasanya aksi unjuk rasa dilakukan oleh para mahasiswa, serikat pekerja, organiasi, atau paguyuban. Namun saat ini para pelajar ternyata juga bisa ikut berperan dalan aki unjuk rasa.
(***)