SERANG – Akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Ikhsan Ahmad menilai pemecatan 20 pejabat di lingkungan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten dari jabatannya membuat pembiasan kasus dugaan korupsi pengadaan masker untuk tenaga kesehatan (Nakes).
Ia juga menilai, terdapat bias arogansi kekuasaan dengan menggunakan kata pemecatan dengan analogi disersi yang dilanjutkan dengan melakukan rekruitmen.
Pembiasan ini, lanjut Ikhsan, mengalihkan isu korupsi kepada isu pelayanan yang disiapkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten. Dimana, seolah-olah pemerintah telah secara sigap, cepat dan cekatan untuk melayani masyarakat.
“Penggunaan kata pemecatan, membelah persepsi publik, apakah dipecat sebagai PNS atau sebagai pejabat di lingkungan Dinkes Banten. Hal ini seakan-akan menjadi pembenar bahwa kekuasaan tidak mentolerir orang lama dengan potensi korupnya,” kata Ikhsan, Kamis (10/6/2021).
Padahal, menurut Ikhsan, pemilihan kata pemecatan tanpa penjelasan yang baik jelas tidak bertanggungjawab. Jika pemecatan yang dimaksud adalah pemecatan sebagai PNS yang kemudian diikuti rekruitmen kembali tentu saja bertentangan dengan Pasal 12 ayat (1) PP 11 Tahun 2017 menyebutkan Kebutuhan PNS secara Nasional ditetapkan oleh Menteri setiap tahun.
Pasal 12 ayat (7) PP 11 Tahun 2017 disebutkan Penetapan kebutuhan PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usul dari PPK Instansi Daerah yang dikoordinasikan oleh Gubernur. Pasal 15 PP 11 Tahun 2017 menyebutkan Pengadaan PNS di Instansi Pemerintah dilakukan berdasarkan pada penetapan kebutuhan PNS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Pasal 16 ayat (1) PP 11 Tahun 2017 menyebutkan Untuk menjamin kualitas PNS, pengadaan PNS dilakukan secara nasional. Pasal 20 ayat (2) PP 11 Tahun 2017 menyebutkan Perencanaan pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. jadwal pengadaan PNS; dan b. prasarana dan sarana pengadaan PNS. Dari ketentuan – ketentuan tersebut maka untuk pengadaan PNS seharusnya atau dikoordinasikan secara nasional dan penetapan-nya dilakukan oleh Menteri.
“Jika yang dimaksud pemecatan adalah pemberhentian 20 orang tersebut dari jabatannya, bukankah mereka sudah mengundurkan diri, kenapa harus dipecat lagi? Langkah rekruitmen paska ini pun bermasalah karena tanpa perencanaan, bisa terlihat dari tiba – tibanya Gubernur memerintahkan kepala BKD Provinsi Banten untuk mengadakan Seleksi Terbuka. Tanpa adanya perencanaan maka berkaitan dengan penganggaran kegiatan, pertanyaannya anggaran yang digunakan saat ini oleh Pemprov Banten untuk seleksi pejabat Dinkes ini apakah sudah ada sebelumnya? Jika ada dianggarkan di OPD mana? Dan tentunya menarik jika dimintakan DPA nya?,” ujar Ikhsan.
Ikhsan menilai, dalam proses rekruitmen untuk menggantikan 20 jabatan ini dimana turut mengundang Kementerian atau lembaga lain, menjelaskan bahwa seluruh PNS Dinkes Prov Banten yang menurut data SIMPEG berjumlah 447 orang sudah tidak ada lagi yang mampu menjabat sebagai PPK dan PPTK.
“Lebih jauh lagi seluruh PNS di Pemprov Banten, yang jumlahnya ribuan juga dianggap tidak ada yang mampu menjabat sebagai PPK dan PPTK, jika benar demikian maka sistem merit atau jenjang karir di Pemprov Banten patut dipertanyakan dan ini tentunya kembali menjadi tanggung jawab Gubernur sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Bukankah Pemprov Banten pernah juga mengadakan tes assesmen terhadapm para ASN yang telah mengajukan diri sebagai ASN Pemprov Banten pada Tahun 2019, kepana mereka tidak diprioritaskan?,” ucapnya.
Mengenai kasus dugaan korupsi pengadaan masker di Banten, Ikhsan menilai, hal ini baru pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan di dunia, dimana peristiwa korupsi itu tenggelam oleh bias yang sengaja dibuat untuk menutupi kasus korupsi itu sendiri.
“Setidaknya di media publik, sehingga seakan-akan kasus korupsi ini terjadi secara alamiah tanpa ada kesalahan sedikitpun dari sistem yang dibuat, pengawasan dan kepemimpinan yang ada, tanpa ada yang memakan uang rakyat, tanpa ada aktor yang bermain di dalamnya,” katanya.
“Bias pada kisah orang baru yang benar dan orang lama yang salah. Pembiasan ini menyembunyikan fakta adanya tuduhan tekanan kepada mereka yang mengundurkan diri dan menyembunyikan fakta bagaimana arahan dan perintah Kadis yang dianggap telah diikuti bawahan namun berujung petaka,” sambungnya.
Apalagi, menurut Ikhsan, aksi pengunduran diri 20 orang pejabat Dinkes Banten yang didasari oleh adanya tekanan dan solidaritas atas rekan sejawat yang ditahan karena akibat kasus tersebut.
“Mereka merasa telah melaksanakan tugas secara maksimal sesuai arahan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten dan kecewa karena tidak ada perlindungan dari atasan. Namun ditanggapi dengan tuduhan bahwa mereka adalah kelompok lama yang tidak bisa mengubah mindsetnya dalam memerangi korupsi di Pemprov Banten. Masyarakat pun dibuat bingung, apa iya, ada pertarungan melawan ASN koruptor oleh ASN pejuang anti korupsi. Apakah bukan sebaliknya, hal ini menunjukkan lemahnya sistem, pengawasan dan kepemimpinan yang ada,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ikhsan mengungkapkan, Pemprov Banten berupaya membangun garis demarkasi bahwa kasus korupsi ini menjadi tanggungjawab pihak ketiga.
“Hal ini tentu saja menjadi bias tentang keberadaan peran dan keterlibatan lembaga-lembaga yang sudah mengaudit proyek pengadaan ini, sesuai dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2020 dan SE LKPP Nomor 3 Tahun 2020,” pungkasnya.
(Mir/Red)