SERANG – Ahli Survei Pemetaan dari Badan Informasi Geospasial (BIG), Surianto mengatakan ada genangan diduga rawa dalam peta di Desa Babakan, Kecamatan Bandung, Kabupaten Serang, Banten yang kini merupakan Kawasan Industri Modern Cikande. Diduga, genangan itu merupakan Situ Ranca Gede.
Kata Surianto, dirinya sempat diminta oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten untuk mengkaji beberapa peta mengenai kondisi geografis di Desa Babakan mengenai adanya Situ di sana. Peta yang ia kaji seperti Peta Rupa Bumi Indonesia dan Citra Satelit dari tahun ke tahun.
Surianto awalnya menjelaksan perbedaan danau, rawa, dan waduk. Kata dia, danau merupakan genangan air yang sifatnya permanen dan terbentuk secara alami serta memiliki dasar yang dalam. Sedangkan rawa sifatnya bisa permanen atau musiman, cenderung tidak dalam serta biasanya memiliki tanaman di atasnya.
Terakhir, waduk merupakan genangan yang mirip dengan danau tapi tidak terbentuk secara alami, melainkan buatan manusia. Sedangkan Situ, sebetulnya tidak pernah memiliki definisi yang rigid. Tapi, Situ biasanya kerap disamakan dengan waduk karena bentuk geografisnya cenderung rapi, tidak seperti danau atau rawa.
Dari hasil temuannya pada peta tahun 1993 hingga 2005 terdapat area diduga rawa dengan luas sekitar 33 hektare. Kemudian di tahun 2013 sampai 2015 dari Citra Satelit juga terlihat adanya genangan air yang diduga danau, situ, atau waduk. Tapi, pada tahun 2018, di lokasi yang sama, sudah tidak ditemukan adanya genangan.
“Saya bisa meyakinkan bahwa di situ terdapat Rawa, tapi saya tidak bisa menyebutkan karena dalam legenda (peta) tidak disebutkan namanya apa,” kata Surianto saat menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan gratifikasi pembebasan lahan Situ Ranca Gede di Pengadilan Tipikor Serang, Senin (6/1/2025).
Saksi lainnya yang juga dihadirkan JPU Kejati Banten adalah Iing R. Sodikin Arifin selaku Dewan Pakar Ahli Hukum Agraria dan Pembuktian Hak Lama pada Pusat Studi Hukum dan Advokasi Pertanahan. Iing dihadirkan karena kapasitasnya diperlukan untuk menjelaskan mengenai apa yang disebut tanah milik negara.
Kata Iing, Rawa atau Situ dikuasai penuh oleh negara karena merupakan aset. Bila aset negara kemudian dikelola oleh pihak swasta, harus ada prosedur pelepasan khusus dan tidak bisa sewenang-wenang.
“Namanya aset negara tata caranya harus sesuai Undang-undang. Berapa nilai aset (negara) itu baru bisa dilepaskan dengan izin. Jadi tata cara pelepasan berbeda. Dengan negara pelepasannya ada proses khusus ada beberapa yang (harus) disetujui DPR dan Pemerintah Daerah,” kata Iing.
Dirinya juga menjelaskan kalau memang aset negara di zaman dahulu, sedikit yang memiliki sertifikat karena saat itu masih terbatas oleh anggaran. Maraknya pembuatan sertifikasi aset negara baru dilakukan saat Sri Mulyani menjabat sebagai menteri.
“Walau tidak bersertifikat, tetap dilindungi?,” tanya JPU.
“Iya,” jawab Iing.
Iing juga mengatakan mengenai Surat Pelepasan Hak (SPH) tanah seharusnya dibuat oleh Pemerintah Daerah, bukan oleh pihak swasta. Dalam dakwaan, diketahui bahwa SPH dibuat oleh Johnson Pontoh selaku tim pembebasan lahan dari Modern Cikande.
Lalu mengenai apakah diperbolehkan seorang saksi saat penandatanganan SPH seperti Kades dan Camat mendapatkan upah, Iing mengatakan, jumlah upah bagi saksi hanya 1 persen.
“Camat selaku PPAT juga berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 minimal paling besar Rp5 juta, tidak boleh melebihi,” jelasnya.
Diketahui, dalam perkara ini terdakwa Johadi menandatangani SPH yang diajukan oleh Johnson meski persyaratannya tidak lengkap. Johadi kemudian menerima uang sebesar Rp700 juta yang merupakan akumulasi penyerahan uang sejak 2012 sampai 2017.
Rincian uang yang diterima Johadi yaitu dari Maeman saat pembebasan 30 hektare sebesar Rp75 juta, dari Johnson saat pembebasan seluas 20 hektare sebesar Rp125 juta, dan dari Hadis saat pembebasan lahan seluas 65 hektare sebesar Rp650 juta tapi baru Rp500 juta yang diterima Johadi. Uang Rp700 juta digunakan oleh Johadi untuk pembangunan kantor Desa Rp360 juta dan sisanya untuk pembayaran staf desa, dan keperluan pribadi Johadi.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi