Oleh: Sulaiman Djaya
Pemerhati Sosial Kebudayaan
Beberapa hari yang lalu kami kongkow (ngopi ngudud) di lorong (selasar) samping kantor Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di kawasan Ciwaru, Kota Serang.
Berbagai topik kami bicarakan, tapi kebanyakan masih seputaran seni dan sastra. Namun, entah karena apa, saat tiba waktu azan, kami tiba-tiba tertarik ngobrolin masalah-masalah keagamaan.
Obrolan itu memang terpancing oleh suara azan yang menggunakan pengeras suara (speaker) dari ragam tempat di satu kawasan yang saling berdekatan yang saling menimpa satu sama lainnya.
Suara azan itu tidak bersamaan tapi juga tidak bergantian, sehingga yang ada adalah kegaduhan. Ketika dari satu speaker baru melantunkan larik kedua bunyi azan tiba-tiba azan dari speaker yang lain baru mulai.
Jika terus-menerus seperti ini, Islam menjadi tidak indah dan menjadi agama dengan ritual paling berisik, celetuk teman saya.
Saya sendiri memang mendapati pengalaman berbeda, sebagai contoh, ihwal sholat jamaah Jumat di kampung saya yang khutbah dan sholat berjamaahnya tidak menggunakan speaker.
Yang berbeda dengan di kawasan perumahan di mana sekretariat teman-teman seni dan sastra tempat saya kongkow sesekali, yang khutbah dan sholatnya menggunakan pengeras suara.
Peristiwa keseharian di kawasan Kota Serang itu mengingatkan saya pada kisah anekdotis yang diriwayatkan Jalaluddin Rumi, yang mengandung metafora bahwa: tujuan baik kita, bila disampaikan dengan cara-cara yang kurang simpatik, elegan, dan malah menebar ketidakelokan apalagi permusuhan, maka sesuatu yang semula baik itu justru akan berdampak buruk.
Begini kisah anekdotis dalam Matsnawinya Rumi:
Alkisah, ada seorang muazzin yang bersuara buruk. Ia tinggal di negeri yang mayoritas beragama Nasrani. Sebenarnya telah banyak orang yang mengingatkannya agar tak mengumandangkan azan, mengingat suaranya yang buruk itu.
Tetapi tak dihiraukan olehnya. Ia tetap mengumandangkan azan dengan suaranya yang buruk.
Hingga suatu ketika, datanglah seorang pendeta kepadanya. Pendeta itu menganugerahkan berbagai hadiah kepada sang muazin sebagai ungkapan rasa terima kasihnya yang mendalam.
Didorong oleh rasa penasaran, bertanyalah seorang muslim pada sang pendeta: ”Wahai pendeta, kiranya apakah yang menjadi sebab engkau memberi banyak hadiah kepada muazin itu?”
Pendeta itu bercerita: “Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak wanita yang jelita. Dan ia sangat kusayangi.
Tapi apa lacur ia jatuh cinta kepada seorang pria muslim. Aku mengkhawatirkan dirinya suatu saat akan meninggalkan diriku dan agamanya.
Hingga suatu masa di pagi buta, putriku terbangun oleh suatu suara. Ia merasa terganggu dengan suara itu. Ia terbangun seraya bertanya: “Ayah suara buruk apakah itu?”. Aku menjawab: ”Itu suara azan, yakni panggilan Islam untuk shalat.”
Putriku hampir tak mempercayainya, bagaimana ajaran agama kekasihnya mempunyai panggilan untuk shalat seburuk itu.
Semenjak itu putriku menjauhi kekasihnya dan juga Islam. Dan sebagai rasa terima kasihku, aku sengaja memberi sang muazin berbagai hadiah.
Sebagai tambahan, ternyata sholat jamaah menggunakan speaker di sejumlah kawasan, terutama kawasan perumahan, di Kota Serang, tak hanya untuk jamaah Jum’at saja. Namun juga rutinitas sholat wajib lima kali sehari semalam.
Bukan cuma azannya yang menggunakan speaker, yang lagi-lagi berbeda dengan di kampung-kampung di kawasan rumah saya di mana cukup azan saja yang menggunakan speaker, sementara iqomah dan suara imam sholat saat sholat berjamaah tidak perlu menggunakan speaker atau pengeras suara.
(***)