Oleh: Sulaiman Djaya, Pemerhati Sosial Kebudayaan
Di jaman ini, ternyata, spirit dan motif sekuler, menggunakan wajah keagamaan, kapitalisme membajak atau menggunakan agama demi meraih keuntungan material dan menguasai pasar konsumen.
Oleh kapitalisme, agama dikomersialisasi seperti menjadi reality show, para selebriti yang ‘hijrah’ dan tidak menguasai agama secara komprehensif dan tidak mendalam didapuk dan dipopulerkan oleh media demi meraup rating dan keuntungan.
Terjadilah distorsi pemahaman yang saleh dan benar kepada publik yang mengkonsumsinya. Kapitalisme teknologi informasi seperti televisi turut andil pula dalam melahirkan dan menciptakan populisme agama yang dangkal dan berbahaya.
Wajah populisme agama tidak hanya digerakkan oleh kelompok dan mereka yang berusaha ‘memaksakan’ pandangan dan pemahaman devian mereka, tapi juga oleh kapitalisme yang berusaha melakukan kapitalisasi dan komersialisasi ‘pemahaman’ banal keagamaan demi meraih keuntungan.
Dalam hal ini, stasiun-stasiun atau kanal-kanal televisi, sebagai contoh, turut andil dalam menciptakan dan menyebarkan populisme agama yang banal dengan mempopuler selebriti hijrah yang tidak memiliki pemahaman keagamaan yang komprehensif, benar dan mendalam. Ironisnya, mereka juga terafiliasi dengan kelompok-kelompok keagamaan yang intoleran.
Komodifikasi agama atau menjadikan agama sebagai komoditas untuk dijual terjadi di semua agama, tidak hanya Islam. Praktik dan fenomenanya mirip dan tidak jauh berbeda dengan politisasi agama, yang acapkali pula keduanya saling berbaur dan berpadu.
Kampanye-kampanye atau iklan-iklan politik disiarkan (ditayangkan) dan disebarkan oleh media-media elektronik dan digital. Dalam praktik lainnya, perusahaan-perusahaan yang memproduksi komoditas atau para penjual jasa kerapkali menggunakan simbol-simbol dan narasi-narasi religius.
Hal itu demi mendapatkan konsumen di area, geografi atau wilayah penganut agama mayoritas. Di sisi lain, ada kelompok-kelompok yang majlis dan dakwahnya menyasar para selebriti agar bisa menghimpun dana amal atau sumbangan lebih cepat dari orang-orang.
Seperti yang dicontohkan oleh gerakan ‘hijrah’, hingga kemudian para selebriti itu sendiri, sedikit atau banyaknya, turut pula menjadi para dai.
Fenomena hijrah dan komodifikasi atau komersialisasi agama muncul dan lahir berbarengan, sejalan dengan motif dan hasrat kapitalisme mendapatkan keuntungan. Dalam logika ekonomi dan kapitalisme, lahir dan munculnya komodifikasi agama tentu karena ada demand (permintaan) dan supply (penawaran).
Politisi dan korporat membutuhkan simbolisasi, klaim dan narasi keagamaan agar mereka bisa diterima dalam masyarakat beragama. Praktik komodifikasi agama ini makin meluas, melebar dan kompleks sejalan dengan perkembangan teknologi informasi –dibuktikkan dengan penyebaran reklame (iklan), konten dan propaganda di segala platform internet dan media sosial.
Ironi Era Digital
Berdasarkan survey pada 2021 oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana dikutip Achmad Muhibin Zuhri dalam bukunya berjudul ‘Beragama di Ruang Digital’, 85 persen siswa dan mahasiswa mengakses informasi dan pengetahuan keagamaan mereka dari internet dan media sosial. Namun sayangnya, yang mereka akses kebanyakan adalah informasi dan pengetahuan (pemahaman) keagamaan yang intoleran.
Mereka lebih memilih internet ketimbang para ustadz atau kyai untuk menjawab keingintahuan mereka tentang agama. Ironisnya, mereka justru lebih banyak mendapatkan informasi dan pandangan keagamaan yang intoleran dan negatif.
Dalam paper reflektifnya berjudul ‘Manusia dalam Prahara Revolusi Digital’ yang menyoroti ironi era digital saat ini, Franky Budi Hardiman menyatakan bahwa era digital memang menghadirkan kemudahan, tetapi juga melahirkan dan menghadirkan kembali brutalitas purba manusia yang seakan tidak punya kendali dan batasan.
Ketika warganet atau netizens terlampau bebas mencaci, menghina, bahkan mengancam dalam ruang-ruang digital dan dunia-dunia mayantara. Homo digitalis cepat menjadi buas dan ruang-ruang mayantara adalah belantara rimba-nya.
Melalui tulisan reflektifnya itu Franky Budi Hardiman, dengan meminjam wawasan filsuf Rafael Capurro yang menulis buku berjudul Homo Digitalis (tahun 2017), menggambarkan era digital telah mengubah pandangan manusia ihwal realitas bahkan hidup itu sendiri.
Namun sayangnya, perubahan pandangan itu acapkali merupakan degradasi dan banalisasi, ketika kedangkalan menggeser kedalaman, sebaran hoax menjadi bisnis yang menggusur kebenaran dan fakta objektif. Franky Budi Hardiman mengutip pertanyaan Christian Montag:
“Saya sendiri mempersoalkan apakah spesies kita, homo sapiens, akan berubah secara hakiki lewat keterlibatan terus-menerus dengan dunia digital. Apakah homo sapiens di masa depan akan mengalami simbiosis yang lebih kuat lagi dengan teknik digital? Dan apa yang persisnya yang akan terjadi? Hasil akhir perkembangan simbiotis itu kemungkinan peralihan dari homo sapiens ke homo digitalis.”
Meski pertanyaan-pertanyaan yang dikutip Franky Budi Hardiman itu barangkali terkesan berlebihan, tetap saja relevan bagi kita agar selalu mawas dari serbuan banalitas dan brutalitas era digital bagi kesehatan ruhaniah dan kesalihan spiritual religius kita yang setiap hari mengalami gempuran sekulerisme.
Di satu sisi dan populisme agama yang banal dan intoleran di sisi lainnya. Era digital kita saat ini, yang bila meminjam istilah dan bahasanya Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, adalah era ketika simulakra (tiruan dan kepalsuan) lebih memikat dan dipercaya ketimbang keaslian.
Paradoks Teknologi Informasi
Lewat bukunya yang berjudul ‘Aku Klik Maka Aku Ada’ , Franky Budi Hardiman menyatakan, “Para pengguna internet tidak dapat menghindari paradoks: Mereka merasa bebas berkomunikasi, tetapi yang sesungguhnya yang sebaliknya juga terjadi.
Karena makin aktif memakai internet, data diri mereka makin diketahui oleh sistem pengawasan digital perusahaan-perusahaan media yang pada gilirannya akan berbalik menjadi kontrol dan modifikasi perilaku mereka.”
Selain itu, era digital juga membuat banyak orang sesungguhnya tanpa sadar telah menjadi bagian mesin bahkan mesin itu sendiri. Terserap dan terseret rutinitas mekanik mesin untuk selalu menjadi bagian dari rutinitas teknologi informasi digital.
Acapkali membuat banyak orang mengalami keterbelahan diri dan identitas serta tidak sedikit yang kemudian menjadikan dunia-dunia mayantara justru sebagai dunia yang lebih nyata ketimbang dunia nyata itu sendiri.
Buku lama Mark Slouka yang berjudul War of the Worlds: Cyberspace and the High-Tech Assault on Reality masih tetap relevan untuk saat ini ketika perangkat-perangkat mesin teknologi informasi justru berpeluang membunuh kesadaran otentik dan kesehatan jiwa manusia.
Di lembar-lembar bukunya yang diterjemahkan Penerbit Mizan itu, Mark Slouka menganjurkan utuk waspada dan mawas diri terhadap dampak tak terduga perkembangan teknologi infomasi bagi kesadaran dan kesehatan mental kita, termasuk produk-produk teologi (agama) baru yang disebarkannya:
“Teknologi-teknologi baru itu menciptakan implikasi sosial, gugatan etis dan risiko yang belum pernah ada sebelumnya. Semua itu adalah rekayasa genetika versi budaya. Hanya saja, dalam percobaan ini diri kita lah yang berpotensi menjadi hibrida baru, menjadi tikus percobaan di laboratorium.
Bagaimanakah bentuk kehidupan di masa depan apabila ragam teknologi itu telah berhasil mengubah secara total pencerapan kita terhadap realitas? Apa yang akan diperbuat oleh teknologi-teknologi itu terhadap diri kita?”
Pertanyaan dan gugatan Mark Slouka itu masih tetap relevan dan aktual untuk kita dengarkan sekarang ini agar kita tetap mawas diri ketika era digital dan perkembangan teknologi informasi ternyata juga menjadi persemaian benih-benih dan kecambah-kecambah brutalitas dan intoleransi hingga penyimpangan (penyakit) pikiran dan ruhaniah manusia-manusia mutakhir. Ketika manusia malah menjadi mesin.
Bahaya Teknologi dan Ancaman Intoleransi
Jauh sebelum Mark Slouka, filsuf Jerman Martin Heidegger, sebagaimana dikutip A. Setyo Wibowo, memandang teknologi sebagai yang membingkai segala sesuatu, termasuk manusia, untuk dieksploitasi.
Pada mulanya, alat atau mesin (teknologi) menjadi perangkat untuk membantu manusia, namun kemudian, berbalik ‘memenjara’ dan ‘memakan’ jiwa manusia. Wajar bila Frtjof Capra, penulis buku The Tao of Physics itu juga mengkritik para pemuja teknologi.
Hal senada diungkapkan Yuval Noah Harari di hadapan para petinggi Negara-negara maju dalam Davos World Eonomic Forum ihwal bahaya disrupsi teknologi, yang melengkapi dua bahaya besar lainnya, yaitu ancaman perang nuklir dan kerusakan sistem ekologi kehidupan.
Sisi gelap teknologi (alat dan instrumen teknis) ciptaan manusia bisa menjadi sindrom Keris Empu Gandring, menikam si pembuat atau penciptanya bila kita lepas kendali, semisal ancaman dehumanisasi akibat ‘mekanisasi’, hilangnya pekerjaan yang dibutuhkan banyak orang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari karena banyaknya pekerjaan yang digantikan mesin.
Sementara populasi manusia terus meningkat dan bertambah, ketimpangan yang semakin besar akibat pemanfaatan teknologi oleh korporasi demi efisiensi dan biaya murah produksi untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Sebagai ciptaan dan inovasi, teknologi termasuk teknologi informasi dan digital, selalu berpeluang digunakan oleh mereka yang memiliki motif dan tujuan eksploitatif dan juga motif kuasa hingga digunakan oleh kaum dan kelompok-kelompok intoleran dan ekstrimis untuk menyebarkan ideologi mereka dan untuk mendapatkan para pengikut gerakan dan ideologi mereka.
Sudah banyak terbukti bagaimana para teroris dan ekstrimis menggunakan perangkat, media atau instrumen kecanggihan teknologi informasi, termasuk media sosial, untuk melancarkan gerakan dan aksi mereka untuk mencapai tujuan mereka. Mereka contohnya memiliki dan mengoperasikan ribuan akun dan fanpage media sosial untuk menyebarkan secara massif narasi dan konten-konten pandangan dan ideologi mereka.
Eksistensi dan gerakan (aktivitas) mereka di dunia digital seperti di jejaring media sosial itu, terbukti telah dikonsumsi banyak orang hingga membentuk pemahaman menyimpang banyak orang tentang agama yang sesuai kehendak dan kepercayaan mereka.
Bukan tidak mungkin bila dibiarkan secara bebas tanpa kontrol oleh Negara, mereka akan membesar dan menjadi ancaman bagi falsafah dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang toleran dan welas-asih, yang budaya dan warisan kearifan lokal masyarakatnya mengandung banyak kearifan yang selaras dengan jati diri bangsa kita.
Sudah dibuktikan pula, teknologi informasi juga dimanfaatkan untuk melancarkan penipuan atasnama filantropi Islam, semisal kasus ACT (Aksi Cepat Tanggap) beberapa waktu silam, ketika sumbangan yang digalang sedemikian besar dan banyak dari publik ternyata dikorupsi oleh oknum-oknum yang mengoperasikan ACT hingga sumbangan yang disalurkan untuk kelompok teroris ISIS.
Tentu saja hal ini harus dan wajib menjadi perhatian serius kementerian-kementerian yang berwenang untuk tidak menganggap remeh dan kecil fenomena dan fakta ini agar tidak terulang untuk saat ini dan di masa yang akan datang.
(***)