Esai Sulaiman Djaya (Ketua Bidang Perfilman Majelis Kebudayaan Banten)
“Kang….menurutmu agama itu penting atau tidak?’ Tanya seorang mahasiswa yang ikut kajian dan diskusi. “Tergantung pemahaman dan praktikmu……” jawab saya. Si mahasiswa itu kaget (dan ia ternyata baru beberapa kali ikut diskusi berkala di forum kajian mahasiswa), sementara beberapa mahasiswa lain yang sudah mengenal saya justru tertawa. “Bisa dijelaskan lebih lanjut kang?” rupanya ia penasaran. “Agama menjadi tidak membuatmu salih jika pemahaman dan praktik beragamamu malah menjadikanmu buruk dan bodoh….” Lanjut saya, “jika malah membuatmu jahat dan membenci banyak orang”.
“Gimana kang kalau ada orang yang mengaku nabi di jaman ini?” “Tak masalah, bagus malah,” jawab saya. ”Koq bisa kang?” “Yah gampang saja….sejauh pembacaan saya, salah-satu kemampuan nabi adalah nubuwwah, sanggup meramalkan dan memprediksi masa depan..” jawab saya, “jika ia tak bisa memprediksi masa depan saya, berarti bukan nabi…” Tentu saja peserta diskusi dan kongkow tertawa. “Lalu apa pendapatmu tentang pembantaian jemaat Ahmadiyah?” Saya menjawab: “Bayangkan yang dibantai itu adalah kamu…”, dan bagusnya si mahasiswa itu langsung diam, tanda ucapanku sangat logis dan menyentuk nuraninya.
Tiba-tiba ada mahasiswa lain bertanya: “Menurut akang, agama itu apa?”. Saya malah balik bertanya, “memang di Quran ada kata dan pengertian agama?” “Ada kang….dien!” jawabnya. “Apakah kata dien itu bisa diterjemahkan begitu saja sebagai agama?” “Maksudnya kang?” “Tidak bisakah ia diartikan sebagai weltanschauung? Tidak bisakah ia diartikan sebagai kosmos nilai-nilai holistik yang sifatnya duniawi dan ukhrawi yang telosnya adalah kebajikan dan keselamatan? Bukankah di sana juga ada kata lain seperti kata millah?”Si mahasiswa itu kembali diam.
Dengan ilustrasi berdasarkan pengalaman itu, saya hanya ingin mengatakan kekakuan dan birokratisasi beragama justru bertentangan dengan ketulusan religius itu sendiri. Mengingatkan saya pada sindiran yang dilancarkan oleh Fariduddin Attar: “Dalam pengembaraan tanpa akhirnya, Sana’i pernah melihat tukang sapu yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. Dan ketika melihat ke sisi lain, matanya luruh ke arah muazin yang tengah menyerukan panggilan sholat. Lalu ia pun berkata: pekerjaan yang kedua (maksudnya pekerjaan muazin) sama-sekali tidak lebih baik (dari pekerjaan si tukang sapu). Sesungguhnya mereka menjalankan tugas yang sama. Mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya mereka kerjakan. Mereka hanya melakukan kewajiban sebagai pekerjaan demi memperoleh makanan mereka”.
Yang Attar maksud kewajiban yang dilakukan si tukang sapu dan muazin dalam anekdot tersebut adalah ketika kewajiban telah menjelma rutinitas yang menggerus penghayatan dan refleksi bathin kita. Sebab, si muazin atau pun si tukang sapu dalam anekdot yang diceritakan Attar itu adalah individu-individu yang telah digaji oleh pemerintah kota. Pesan didaktiknya cukup jelas: kesalehan bukanlah kapasitas birokratis, tetapi lebih merupakan sebuah sikap dan perilaku yang didasarkan pada pilihan dan penghayatan yang bersumber dari kejujuran.
Bila demikian, maka kita tak perlu heran ketika ada seseorang yang rajin sholat tetapi pada saat yang sama rajin menghina dan menista orang lain. Bahkan, dan ini yang sering kita sesalkan, orang seperti itu acapkali mudah digerakkan sebagai mesin pembunuh sesama. Orang-orang beriman sekalipun adalah manusia dan individu yang hidup di bumi, bukan terkunci di surga. Dan karena itu pula, tak jarang misalnya, persoalan-persoalan manusiawi acapkali membajak dan meminjam retorika dan wawasan keagamaan demi mendapatkan legitimasi bagi setiap tindakan yang sengaja dipilih seseorang atau kelompok tertentu.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa agama atau “iman” sekalipun pada akhirnya harus bergelut dengan sejarah. “Kita selalu berbicara tentang pengaruh agama pada sebuah masyarakat”, tulis Amin Maalouf, “sembari kita melupakan manipulasi dan politisasi oleh orang-orang yang mengaku-ngaku diri saleh yang seringkali mengatasnamakan perintah agama ketika melakukan kekerasan dan penodaan pada sesama manusia”.
Keresahan Amin Maalouf tersebut adalah juga kegelisahan seorang Umberto Eco dan Kardinal Carlo Maria Martini dalam dialog intens mereka seputar wahyu dan agama di tengah dunia modern dan orang-orang awam atau orang-orang yang tidak beriman. Ketika dalam aspek tertentu, misalnya, semaraknya sikap-sikap keagamaan acapkali hanya bersifat permukaan semata. Basah di kulit tapi kering di hati. Sebuah fenomena yang menurut Harvey Cox terjadi di Amerika yang dilanda puritanisme dan arah balik menuju fundamentalisme keagamaan, di saat Eropa mengaku diri atheis tetapi peka pada situasi kemanusiaan karena belajar dari trauma dan sejarah perang keagamaan dan perang sekuler karena wabah nasionalisme.
Amin Maalouf sebenarnya tengah berbicara tentang agama atau “iman” yang pada akhirnya “direbut” oleh kepentingan manusiawi para penganutnya. Entah dalam situasi keterdesakan atau pun dalam situasi normal dan biasa. Agama dalam sejarahnya, demikian banyak penulis seperti Armstrong dan Maalouf itu menyatakan, tak pernah imun atau kebal dari hasrat-hasrat politisasi dan manipulasi. “Agama atau doktrin apapun”, tulis Maalouf, “senantiasa membawa tanda-tanda jaman dan tempatnya. Masyarakat yang percaya diri tercermin dalam perilaku keagamaan yang percaya diri, tenang, dan terbuka. Tetapi masyarakat yang dogmatis dan inferior tercermin dalam perilaku keagamaan yang hipersensitif, sok suci, dan menutup diri”.
Apa yang dikatakan Maalouf tersebut terjadi juga dalam masyarakat Islam, meski tidak semuanya, setelah perjalanan sejarah mereka menerjemahkan Yunani bagi Eropa dan membangun peradaban puncak-puncak ilmu pengetahuan dari Bagdad (era Abbasid) hingga Cordoba (era Ummayyid Kedua).
Di sisi lain, dogmatisme, yang seperti kita tahu, tumbuh dalam sikap-sikap dan kesalahpahaman tentang kepercayaan dan keimanan sebagai kehendak untuk menutup diri rapat-rapat dari kehadiran “yang lain”. Sikap-sikap seperti itu sebenarnya pernah disindir dengan halus oleh Ibn Arabi: “Janganlah kaulekatkan dirimu pada satu kepercayaan secara tertutup, sehingga kau jadi tidak mempercayai yang lainnya. Jika demikian, kau akan kehilangan banyak kebaikan. Bukan hanya itu saja, kau pun akan gagal mengenal kebenaran segala sesuatu. Tuhan, yang serba hadir dan kuasa, tidaklah terbatas pada satu kepercayaan saja, karena dia mengatakan: ke mana pun wajahmu menghadap, di sana ada wajah Tuhanmu.”
Sikap-sikap seperti itu pada aspek tertentu didasarkan pada egoisme dan pada aspek yang lain karena politisasi institusi keagamaan. “Setiap orang memuji apa yang dipercayainya”, tulis Ibn Arabi, “Tuhannya adalah ciptaannya sendiri, dan dalam memuji itu ia sebenarnya memuji diri sendiri. Akibatnya, dia menyalahkan kepercayaan orang lain, sesuatu yang tidak akan dilakukannya jika dia bersikap adil. Kebenciannya didasarkan pada ketidaktahuan”.
Apa yang tengah disindir Ibn Arabi adalah agama dan dogma yang menjelma ideologi tertutup yang tidak memberikan tempat bagi kepekaan dan kesalehan manusiawi kita sebagai sesama manusia yang tengah hidup dan menjalani keseharian kita bukan di surga.
(***)