SERANG – Kenaikan harga kedelai dirasakan pengrajin tempe dan tahu di Banten. Semua kota dan kabupaten merasakannya, salah satunya Kota Serang. Kenaikan harga kedelai terjadi dalam 6 bulan berturut-turut hingga saat ini. Bahkan pernah terjadi peningkatan harga sampai empat kali dalam satu bulan.
“Kedelai adalah bahan baku utama bagi perajin tempe. Kenaikan yang begitu besar sangat berdampak terhadap ekonomi perajin tempe se-Banten,” demikian diungkapkan anggota DPRD Banten dari PSI, Maretta.
Maretta menegaskan, dampak pandemi terhadap ekonomi sangat berat. Masyarakat secara umum mengalami penurunan kemampuan konsumsi termasuk konsumsi makanan harian. Salah satu yang menjadi penyelamat asupan protein bagi rakyat dengan harga terjangkau adalah tempe dan tahu.
“Kenaikan harga kedelai yang dialami perajin di Banten, tak hanya memukul margin perajin, namun juga berpotensi mengganggu kontinyuitas supply tempe bagi masyarakat menengah bawah. Pemprov jangan diam saja. Ini masalah rakyat kecil yang butuh perhatian,” tandas Maretta yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPW PSI Banten itu.
Harga kedelai yang bagus kualitasnya semula ada di kisaran 7.500/kg, namun saat ini harganya melonjak dalam jangka pendek hingga 10.200/kg di tangan pengrajin tahu dan tempe.
Maretta, bersama Pengurus PSI Serang, bro Nanang & Riad, langsung turun ke lapangan, menemui perajin tahu tempe di Kopti Serang, Kecamatan Kramat Watu, Kabupaten Serang pada 16 Maret 2021.
“Kenaikan harga kedelai mengakibatkan perajin kesulitan mempertahankan skala usahanya. Konsumsi kedelai untuk diolah jadi tempe dan tahu terus merosot. Tentu kondisi ini memprihatinkan,’ kata anggota komisi 2 DPRD Banten itu.
Dalam dialognya dengan Ketua Kopti Serang, Dadan dan perajin tahu tempe yang ditemui, akibat kenaikan harga kedelai ini perajin hanya mampu memproduksi 50kg kedelai per hari dengan keuntungan saat ini hanya bisa mencapai 50% persen dari keuntungan sebelum kenaikan harga. Pengrajin tidak bisa menaikkan harga jual karena tidak ada konsumen yang mampu membeli tempe tahu hasil produksinya.
“Ini yang membuat pasar tempe dan tahu berbeda. Konsumennya yang banyak adalah menengah bawah. Akibatnya, produksi sangat elastis terhadap harga. Jika ada kenaikan harga produk, konsumsi akan turun. Ini yang dirasakan perajin,” ujarnya.
Perajin menyiasati dengan mengurangi ukuran tahu tempe yang dijualnya, meskipun masih belum bisa mencapai keuntungan yang diharapkan seperti sebelumnya. Daya beli masyarakat tidak bisa dipaksakan mengikuti lonjakan harga kedelai ini.
Masih cukup beruntung bagi pengrajin tahu tempe yang tergabung dalam Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Kopti) karena Kopti masih memiliki kebijakan untuk memberikan pinjaman bagi anggotanya karena dampak kenaikan ini. Bila tidak, maka biasanya pengrajin bisa terlilit hutang pada rentenir.
“Perlu dipastikan bantuan usaha kecil Pemprov bisa menyasar ke perajin tahu tempe. Pemprov juga wajib mengajak serta kota dan kabupaten di Banten untuk serentak turun membantu perajin tahu tempe,” tegas Maretta.
Maretta mengaku sedih saat interaksi dengan perajin. Saat ini untuk bertahan hidup sungguh berat. Hal-hal yang sederhana seperti memberikan uang jajan pada anak dan cucu menjadi sungguh sulit dilakukan.
“Sebagai seorang ibu, tentu saya sedih melihat keluarga perajin tempe dan tahu bahkan tak mampu memberikan uang jajan untuk anak cucunya. Ini hal sederhana yang biasa dilakukan untuk membahagiakan anak cucunya.” katanya.
Penurunan pendapatan dibenarkan oleh Dadan. Kopti pun keberadaannya makin berat. Semangat koperasi yang dibangun dari awal adalah untuk menyejahterakan anggotanya jadi terimbas karena menurunnya pendapatan pengrajin. Namun demikian, Kopti tetap berkomitmen memberikan bantuan bagi anggotanya membutuhkan.
Upaya upaya Kopti untuk memperjuangkan nasibnya ke pemerintah pusat tidak mendapat respon positif. Kopti berharap kembali pada kebijakan awal agar bulog yang menangani import kedelai dan didistribusikan melalui Kopti. Saat ini pasar terlalu bebas menentukan harga dari importir.
Fungsi pengawasan terhadap harga yang berkembang cenderung tidak terkontrol karena harga terkesan dibiarkan ditentukan oleh importir. Ketika terjadi kenaikan harga seperti ini, Kopti hanya bisa pasrah menerima harga yang ada. Bahkan bisa terjadi harga di Kopti akan lebih mahal sedikit dibandingkan dengan toko sebelah. Namun demikian hal ini terjadi karena Koperasi memang menyisihkan alokasi untuk kesejahteraan bersama anggota.
“Pemprov Banten harusnya membantu perajin. Menyampaikan aspirasi ke kementerian dan mencari jalan keluar bersama. Bukan diam saja dan berkilah itu sebagai mekanisme pasar belaka.” jelas Maretta.
Maretta menambahkan pemerintah pusat maupun daerah kurang berpihak pada masyarakat kecil. Kementan pernah menjanjikan harga kedelai turun pada bulan Januari. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
“Selain menjalin komunikasi dengan kementerian, Pemprov perlu memaksimalkan peran Koperasi seperti Kopti ini. Alangkah baiknya ada pembinaan dan dukungan terutama bagi koperasi yang masih berjuang mewujudkan komitmen anggotanya seperti Kopti Serang ini,” imbuhnya.
Maretta berharap ranah pembinaan yang bisa dilakukan oleh pemprov Banten mampu membantu menguatkan kembali fungsi koperasi untuk menyejahterakan anggotanya.
Hal ini juga dibenarkan Dadan bahwa selama ini belum ada perhatian dari Pemprov untuk mendukung perjuangan kopti ini.
“Permintaan kami agar harga kedelai dapat kembali di level 7.500 – 8.500 per kilogram, jangan sampai lebih dari itu. Beri kepastian standar harga kedelai yang dijamin pemerintah,” kata Dadan.
PSI tergerak untuk mengawal upaya pemerintah dalam upaya pengendalian harga kedelai hingga di pengrajin. PSI akan bergerak menyuarakan aspirasi /jeritan pengrajin kedelai ini di tiap wilayah kab /kota di Indonesia, agar kiranya pemerintah baik pusat maupun daerah akan serius menanggapi permasalahan ini.
“Kehadiran Pemprov sangat urgent untuk memastikan ketersediaan kedelai di tingkat perajin agar perajin dapat tetap berproduksi. Jangan sampai pengrajin tempe gulung tikar,” kata Maretta menutup pembicaraan. (ADV)