Bongkahan batu karang di dekat Mercusuar Anyer menjadi saksi betapa dahsyatnya ledakan Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 pukul 10 02 silam. Bongkahan terumbu karang berdiameter 0,5 meter-5 meter dengan berat 600 ton itu terangkat dari laut lalu tersapu tsunami ketika Krakatau meletus 135 tahun silam.
Tsunami setinggi 40 meter yang menghanyutkan terumbu karang tersebut tercatat dalam sebuah telegram yang dikirimkan dari Batavia ke Singapura. Telegram tersebut juga menyebutkan, sedikitnya 36.417 orang tewas, sebagian besar karena gelombang tsunami, dan 165 desa hancur. Dari sana kabar ledakan Krakatau inibkemudian menyebar jauh hingga negeri-negeri di Benua Eropa.
Telegram lainnya yang dikirim pada sore hari 27 Agustus 1883 menyebutkan bahwa “Batavia saat ini hampir gelap gulita—lampu gas menyala sepanjang malam—tak dapat berkomunikasi dengan Anjer (Anyer)— beberapa jembatan hancur, sungai-sungai meluap karena gelombang laut yang menuju daratan.”
Kemudian, pukul 11.00 pada 28 Agustus, sebuah telegram kembali diterima di Singapura, “Anjer, Tjeringin, dan Telok Beting hancur lebur.” Setengah jam kemudian kabar buruk kembali dikirim, “Mercusuar di Selat Sunda menghilang.”
Banyak catatan yang menggambarkan tentang letusan Krakatau saat itu. Johanna Beijerinck, istri kontrolir perkebunan Willem Beijerinck di Katimbang, pesisirpantai Lampung Selatan menjadi saksi dahsyatnya letusan Gunung Krakatau. Dalam catatan hariannya terungkap betapa mengerikannya letusan tersebut.
“Aku mendengar suara berisik batu apung yang menimpa atap rumah, di atasnya terdengar suara geledek dari gunung, serupa auman mengerikan, yang kecepatannya hampir menyamai kecepatan cahaya…,” kenang Johanna dari catatan hariannya yang disebut Bethany D. Rinard Hinga, penulis buku Ring of Fire, sebagai rekaman kesaksian paling rinci mengenai letusan Krakatau yang pernah ada.
Muhammad Saleh menulis ‘Syair Lampung Karam’ untuk menggambarkan letusan Krakatau. Dalam bait 14 dan 16 Muhammad Saleh menuliskan :
Gaduhlah orang di dalam negeri
Mengatakan datang kapalnya api
Lalu berjalan berperi-peri
Nyatalah Rakata empunya bunyi
…….
Riuh bunyi di dalam perahunya
Bersahutan sama sendirinya
Seperti kiamat rupa bunyinya
Ramailah orang datang melihatnya
Muhammad Saleh merupakan satu-satunya pribumi yang menuliskan kesaksian dramatis bencana akibat letusan Krakatau. Buku ‘Syair Lampung Karam’ pertama kali diterbitkan di Singapura. Syair ini selesai ditulis 3 bulan setelah letusan Krakatau. Syair ditulis setelah Muhammad Saleh. Syair Lampung Karam terdiri atas 374 bait. Ada empat edisi berbeda Syair Lampung Karam dengan tebal 36-42 halaman tergantung edisi.
Naskah Syair Lampung Karam ini ditemukan Suryadi, ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, 125 tahun setelah letusan Krakatau. Penemuan naskahnya pun terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia. (ink/red)