Oleh: Wanda Juhendro
Ada Apa dengan Suriah?
Apa yang ada di benak kalian ketika mendengar nama negara Suriah? Pasti ada yang membayangkan peperangan ataupun sedang terjadi konflik besar. Ya tentu saja, semenjak tahun 2011 sampai sekarang di Suriah tak pernah damai. Pemerintah Suriah sedang memerangi oposisi atau orang-orang anti pemerintahan, yang ingin menggulingkan presiden Suriah dari jabatannya.
Melihat mundur 10 tahun yang lalu, di mana dahulu negara Suriah merupakan negara yang makmur, banyak destinasi wisata yang memukau sehingga menggugah wisatawan dunia untuk berkunjung ke negara tersebut, serta hasil alam seperti minyak bumi yang melimpah di semenanjung Timur Tengah, hal tersebut membuat negara-negara lain takjub akan Suriah.
Namun keadaan tersebut sangat terbalik, sekarang negara ini sudah tidak indah lagi. Bangunan-bangunan yang megah serta alam yang indah sekarang telah rusak dan hanya menyisakan puing-puingnya saja. Yang terdengar sekarang hannyalah suara senjata dari kedua belah pihak yang berperang.
Sekilas tentang Suriah
Suriah merupakan negara yang terletak di bagian barat Asia tepatnya berada di wilayah Levant timur tengah, ibu kota negara Suriah terletak di kota Damaskus. Dengan luas wilayah sekitar 185,180 km², negara ini dikelilingi serta berbatasan langsung negara-negara lain, seperti Irak di sebelah timur, laut tengah dan Lebanon di sebelah barat, Yordania di selatan dan Turki di Utara.
Presiden Suriah adalah Bashar Al-Asad. Ia merupakan keturunan dari Hefeds Al-Asad yang terkenal kediktatorannya dalam memimpin Suriah. Kemudian pada tahun 2000an Bashar mulai menggantikan ayahnya sebagai pemimpin Suriah sementara perdana menterinya adalah Hussein Arnous. Bentuk pemerintahan negara Suriah adalah menggunakan sistem Republik Presidensial. Namun dalam sistem pemerintahan ini, yang menjabat sebagai kepala negara adalah Perdana Menteri, yang ditunjuk oleh Presiden. Presiden Suriah dipilih langsung oleh rakyat pada pemilihan umum yang diselenggarakan setiap 7 tahun sekali.
Awal Mula Konflik Suriah
Jauh sebelum konflik ini terjadi, pada sekitar tahun 2006-2011 Suriah mengalami kekeringan berkepanjangan. Banyak ladang yang gagal panen, hewan ternak mati, kemudian terjadi peningkatan korupsi dan minimnya lahan pekerjaan yang membuat tingginya tingkat pengangguran di negara tersebut. Rakyat Suriah sangat mengeluh akan kondisi yang terjadi, ditambah lagi dengan kesenjangan sosial, mendominasinya partai Ba’ath yang mengakibatkan krisis kebebasan politik serta kebebasan berpendapat yang semakin membuat rakyat tak berdaya. Namun sikap presiden Bashar Al-Asad tak menanggapi fenomena yang terjadi, dia hanya cuek-cuek saja, seolah-olah negaranya sedang baik-baik saja.
Konflik Suriah dimulai dari segelintir remaja laki-laki di kota Daraa yang mencoretkan tulisan ke dinding sekolahnya, lantas tulisan apa yang remaja tersebut coretkan? Tulisan tersebut berisikan tentang slogan-slogan revolusi, tulisan ini merupakan bentuk dari ekspresi protes mereka terhadap pemerintah. Tentunya hal ini membuat pihak pemerintah geram, sehingga remaja- remaja tersebut akhirnya ditangkap. Tak hanya itu, mereka juga disiksa secara terus menerus,
Terdengar sampai ke telinga warga, lantas warga tak terima atas perilaku dari aparat pemerintah terhadap anak- anak mereka yang ditawan. Kemudian warga mulai berunjuk rasa. Sebenarnya unjuk rasa ini tidak terlalu besar, namun karena warga Suriah menaruh dendam yang mendalam atas penderitaan yang mereka rasakan, cukup membuat atmosfer unjuk rasa semakin memanas.
Perang Saudara
Menurut Arya Sandhiyuda “ Perang yang terjadi di Suriah merupakan perang saudara sesama muslim, yang berawal dari pihak oposisi yang melawan pemerintah. Di Suriah terdapat beberapa agama yang dianut oleh masyarakatnya, yakni agama Islam (74 %), Alawi/Shi’a dan Druze (16 %) Kristen dan lain-lain (10 %). Sudah puluhan tahun agama tersebut rukun berdampingan di dalam satu negara. Namun pada Maret 2011 suasana tersebut semakin tak terlihat dikarenakan pembantaian yang dilakukan oleh rezim Bashar Al-asad terhadap warganya sendiri.
Diketahui Bashar Al-asad merupakan seorang penganut Islam Syiah. Kemudian banyak dari golongan Islam Sunni yang dibantai oleh rezim tersebut. Ini membuat reaksi umat Islam Sunni di Suriah geram atas tindakan sang rezim, bahkan mendapat kecaman dari berbagai negara- negara di dunia dan mendapat beberapa bantuan bahkan ada yang langsung ikut serta untuk memerangi rezim Al-asad dan mengklaim dirinya sebagai mujahid.
Bagaimana dengan Indonesia?
Diketahui Indonesia saat ini merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, negara di Asia tenggara ini disebut sebagai tanah dengan populasi muslim tertinggi sejagat raya, presentasi Islam Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia.
Menjadi negara muslim terbesar, belum tentu Indonesia bisa aman dari peperangan. Banyak sekali golongan ormas-ormas ekstremis yang mengaku dirinya beragama Islam dan tindakannya adalah yang paling benar. Ini membuat negara kita harus ekstra hati-hati.
Di setiap negara pasti ada saja peperangan, baik itu dengan sekala besar ataupun kecil. Perang yang terjadi pasti di dahului dengan konflik panas dari kedua belah pihak dan berujung dengan peperangan.
Di Indonesia pun tercatat sering terjadinya peperangan yang dilakukan oleh beberapa suku pedalaman. Dan pemerintah masih bisa menangani hal tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa Indonesia bisa saja akan bernasib sama seperti negara Suriah. Karena kondisi politik yang sangat memanas di tahun 2019 kemarin, kemudian salah satu golongan ada yang menginginkan sistem pemerintahannya harus diganti dan menggunakan sistem khilafah dan golongan lainnya ada yang sering membuat makar dan kekacauan dan lain-lain. Oleh sebab itu banyak warga yang khawatir akan terjadinya perang saudara di negara kita.
Cara agar Indonesia tidak seperti Suriah
Salah satu cara untuk tidak terjadi peperangan yaitu pemerintah harus menerapkan sikap nasionalisme secara universal dari Sabang sampai Merauke tujuannya agar masyarakat cinta akan negara sendiri dan mampu menghargai berbagai perbedaan yang ada di setiap suku, ras, adat maupun agama.
Keterbukaannya rakyat dengan pemerintah. Di berbagai daerah di Indonesia sudah pasti rakyatnya mempunyai berbagai macam persoalan. Dan tidak banyak orang- orang pemerintah mengetahuinya. Untuk itu sering- seringlah berdialog antara rakyat dengan pihak pemerintah agar rakyat bisa menyalurkan aspirasi serta keluhan- keluhan yang di deritanya, dan pemerintah gesit menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut.
Aparat pemerintah harus tetap memantau pergerakan ormas-ormas dari segi kajian yang mereka laksanakan. Jika ada ormas yang membuat kajian menyimpang dan provokasi serta bertujuan membuat makar dan kekacauan segaralah bubarkan agar tidak semakin banyak rakyat yang terprovokasi.
Kemudian pemerintah harus menindak tegas terhadap ormas-ormas yang radikal dan terang-terangan menyatakan sikapnya untuk memerangi pemerintah.
Kalau bisa ormas semacam ini harus dibubarkan saja. Pembasmian praktik korupsi. Tak hanya meruntuhkan ekonomi, korupsi juga mengakibatkan gerakan-gerakan separatis. Jika ada pegawai pemerintah yang korupsi maka membuat kapasitas negara melemah. Hal ini akan menjadi ruang menyatakan bahwa negara sedang tidak baik- baik saja imbasnya radikalisme akan semakin menjamur.
Kurangi kebijakan-kebijakan yang sifatnya berat atau sangat bertentangan dengan masyarakat. Karena rakyat pasti akan melawan dengan cara berdemonstrasi dan kesempatan itu akan dimanfaatkan oleh segelintir oknum-oknum yang membenci pemerintah. (*)
Wanda Juhendro: Mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling, Islam Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten