Oleh: Fajar Ruddin, Akademisi Psikologi Klinis King Saud University – Riyadh
Hari-hari ini kita dihadapkan pada situasi yang sulit. Covid-19 yang semula dianggap remeh oleh sebagian kalangan nyatanya menjadi monster yang mengacaukan tatanan dunia. Setelah berbulan-bulan sejak kasus pertama ditemukan, akhir kisah Covid-19 bukannya semakin jelas, justru tambah runyam dengan ditemukannya ribuan kasus baru tanpa gejala di China.
Kita menjadi cemas dan khawatir, bukan hanya karena takut terinfeksi virus tersebut, melainkan juga karena kita dihadapkan pada ketidakpastian di masa depan. Paduan ambruknya kesehatan global dengan terpuruknya ekonomi adalah seburuk-buruk duet bagi mental manusia.
Ditambah lagi tidak ada satupun ahli yang dapat memastikan kapan akhir dari saga corona ini. Mereka hanya dapat mengira dengan perkiraan yang berbeda-beda. Bill Gates misalnya, dalam wawancaranya bersama CNN memprediksi corona akan kelar dalam waktu 2-3 bulan saja dengan syarat masyarakat tertib melaksanakan social distancing.
Selain itu, ada Rishi Desai dari Center for Disease Control (CDC) yang memperkirakan corona baru akan berakhir tahun 2021. Adapun untuk konteks Indonesia, jajaran peneliti ITB mengestimasi selesainya corona di tanah air terjadi akhir Mei atau awal Juni setelah sebelumnya mengatakan akan berakhir pertengahan April.
Berbagai prediksi tersebut seolah menegaskan ketidakpastian bencana ini. Celakanya, manusia adalah tipikal makhluk yang membenci ketidakpastian.
Mereka tidak pelit menyisihkan pendapatannya demi meredam cemas yang mendera sebagai akibat dari ketidakpastian masa depan. Maka, ketika manusia modern mencemaskan hal-hal yang melekat padanya, baik nyawa maupun harta, bisnis asuransi dengan jeli hadir sebagai penyuplai ketenangan.
Akan tetapi, ahli jiwa memberi kabar gembira akan kecemasan massal akibat Covid-19 yang kita rasakan akhir-akhir ini. Bahwa di tengah situasi krisis seperti bencana alam, perang, termasuk juga pandemi corona, rasa cemas dan khawatir yang membelit jiwa kita sedianya adalah sesuatu yang normal.
Kecemasan itu tidak lain adalah reaksi psikologis sebagai mekanisme pertahanan diri kita terhadap kejadian yang abnormal. Dalam situasi krisis, entah bagaimana otak kita menjalankan sistem yang tidak seperti biasanya. Seperti sengaja bersekongkol untuk menyelamatkan tuannya.
Begini, tiap kali ancaman itu datang, sistem limbik sebagai pusat kendali emosi manusia akan bekerja lebih gesit. Saking gesitnya, pikiran rasional yang biasanya muncul sebagai buah kerja otak depan (frontal lobe) menjadi tak kelihatan, tertutupi oleh rangkaian emosi yang diproduksi sistem limbik tadi. Hasilnya, manusia dihantui rasa cemas dan takut.
Selama rasa cemas dan takut itu tidak menguasai diri, hal itu wajar-wajar saja adanya. Artinya secara mental kita masih sehat, selaras dengan kriteria sehat mental dari WHO. Lagipula, kecemasan itu kita butuhkan juga sebagai bagian dari naluri bertahan hidup manusia.
Akan tetapi, rasa cemas menjadi tidak wajar ketika ia membuat kita tersandera sampai tidak mampu melakukan hal-hal lain. Sehingga badan dan pikiran kita sepenuhnya di bawah kendali kecemasan.
Ini buruk. Selain kekurangan suplai pikiran rasional, cemas berlebih juga berakibat negatif bagi sistem imun manusia. Sebab saat seseorang mengalami stres yang tidak terkelola, akan ada perubahan fisiologis pada tubuhnya, terutama kaitannya dengan kadar hormon.
Neuropsikologi memercayai bahwa saat manusia merasakan cemas berlebih, hormon dopamin dan serotonin yang dikenal sebagai hormon kebahagiaan akan menurun produksinya. Di sisi lain, hormon adrenalin dan kortisol yang sering disebut sebagai hormon stres justru meningkat.
Kondisi yang demikian akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam tubuh dan terganggunya sistem imun sehingga kita lebih rentan terhadap penyakit, baik penyakit asli maupun penyakit “bikinan” kita sendiri yang biasa disebut psikosomatis.
Ya, di tengah pandemi corona seperti sekarang ini, banyak orang mengalami psikosomatis. Merasa sakit, padahal tidak. Sesak napas karena takut corona dianggap terinfeksi corona betulan. Pilek karena kehujanan langsung sambat minta bantuan. Padahal bisa jadi masalah tersebut selesai hanya dengan mengatur pernapasan.
Hal buruk lainnya, kecemasan eksesif membuat manusia diliputi pikiran negatif. Dalam keadaan normal saja pikiran kita sudah didominasi oleh hal-hal negatif dengan proporsi mencapai 80% (National Science Foundation, 2005). Lalu apa jadinya pikiran kita di tengah pandemi corona seperti sekarang ini?
Konyolnya, dari semua pikiran negatif manusia, 85% diantaranya sebenarnya tidak pernah menjadi kenyataan. Pun dari 15% dari kekhawatiran yang jadi nyata, 79% subjek penelitian ternyata dapat menangani kesulitan dengan lebih baik dari yang mereka perikirakan (Leahy, 2005).
Pikiran negatif hanya membuat manusia dibayangi pesimisme. Ketika pesimisme mendominasi pikiran, maka pintu harapan menjadi buram di mata. Pada titik ekstrem, orang menjadi kehabisan alasan untuk sekadar melanjutkan hidup. Maka tidak mengherankan ada banyak kasus bunuh diri akibat kecemasan corona kita baca akhir-akhir ini. Ambil contoh kasus bunuh diri Menteri Keuangan negara bagian Hesse Jerman, perawat di Italia, sampai WNA Korea di Solo.
Lalu apa sebaiknya yang kita lakukan agar tidak cemas berlebihan?
Berpikir positif adalah jalan terbaik untuk membatasi kecemasan. Dengan pikiran yang positif kita akan menjadi lebih tenang dan kalem sehingga saluran rasionalitas tidak tersumbat. Hal itu bisa kita mulai, misalnya dengan membatasi diri dengan info yang akurat.
Bahwa kita membutuhkan update informasi betul adanya, tetapi menjadi keliru ketika informasi-informasi tersebut membanjiri pikiran kita. Apalagi akhir-akhir ini sebagian besar berita berisi informasi yang “tidak ramah” mental. Belum lagi berita-berita hoaks yang berseliweran di media. Ketidakmampuan untuk mengerem rasa ingin tahu akan berdampak buruk bagi kesehatan mental kita.
Yang tidak kalah penting, sebagai bangsa yang berketuhanan, mendekatkan diri pada Allah sangat dibutuhkan dalam kondisi seperti sekarang. Selain membuat kita jadi lebih tenang, doa adalah penyempurna ikhtiar-ikhtiar kita untuk mencapai keselamatan.
(***)