Oleh : Chotibul Umam, Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Untirta
Mendengar kata sekolah, pada umumnya orang-orang akan terbayang suatu tempat dimana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar. Sudah kita ketahui bahwa sekolah itu terdiri dari banyak kelas-kelas minimal mewakili berapa tahun untuk menuntaskan di jenjang itu maksudnya begini di jenjang Sekolah Dasar (SD) untuk menyelesaikan nya adalah 6 tahun maka minimal ada 6 kelas di satu jenjang. Untuk di daerah yang memiliki peradaban cukup modern biasanya tiap jenjang memiliki jumlah kelas yang lebih dari nilai minimal.
Maka, timbulah sebuah permasalahan apa indikator membagi murid ke dalam sekolah yang memiliki kelas lebih dari satu, berdasarkan pengalaman penulis ada 2 jenis sekolah, pertama, membaginya berdasarkan kemampuan kognitifnya yang diukur saat tes masuk sekolah tersebut. Anak dengan kemampuan kognitif dengan level sangat tinggi dimasukkan kedalam kelas yang biasanya menggunakan tanda bahwa itu adalah kelas tinggi seperti angka 1, atau huruf A, atau disebut kelas unggulan terus kebawah berurutan dan biasanya kelas bawah disebut kelas reguler. Kedua, membaginya tidak berdasarkan kognitif siswa namun biasanya berdasarkan urutan waktu pendaftaran saja.
Dalam hal pembagian kelas ini penulis berpendapat dalam memandang hal ini kita dapat menggunakan salah satu teori sosiologi yaitu mengenai “stratifikasi sosial” dalam sosiologi suatu pengantar Soerjono Soekanto menyatakan bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu.
Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan orang yang terhormat.
Sebelumnya kita harus tahu seperti apa konsep kelas unggulan-reguler dan kelas terbuka itu seperti apa, konsep kelas unggulan-reguler disini adalah seperti yang sudah dijelaskan di awal yaitu siswa yang dibedakan kelasnya berdasarkan kemampuan kognitifnya anak dengan kemampuan kognitif tinggi masuk ke kelas unggulan lalu yang rendah masuk ke kelas reguler biasanya alasan yang digunakan untuk menggunakan konsep pembagian kelas ini adalah “kompetisi”.
Jadi anak akan berjibaku dan berlomba-lomba agar bisa menduduki kelas-kelas unggulan ini juga merupakan salah satu sisi positifnya dalam konsep kelas ini dimana siswa diajarkan untuk bekerja keras demi mendapatkan sesuatu yang diinginkannya namun sisi negatifnya siswa dalam konsep dalam pembagian kelas seperti ini satu kelas ber komposisi homogen secara kognitif yang dimana kurang mencirikan kondisi masyarakat yang sebenarnya yang bercirikan heterogen bukankah kelas itu sebaiknya mencirikan masyarakat sebenarnya karena para siswa pun anggota masyarakat bukan?.
Lalu dengan konsep kelas terbuka dimana siswa dengan kemampuan kognitif berbeda-beda diletakkan dalam satu kelas yang sama hal ini mempunyai dampak positif yaitu siswa sudah diajarkan bagaimana kondisi masyarakat yang sebenarnya yaitu heterogen dan menurut saya dengan diajarkan kondisi masyarakat yang sebenarnya siswa dapat melakukan pelatihan empati di kelas dengan sering terlatih di kelas maka ketika kembali ke masyarakat para siswa sudah terbiasa untuk ber empati namun hal negatif yang biasa terjadi di konsep kelas ini adalah penyamarataan kemampuan tiap siswa hal ini bisa berdampak tergantung pengajar nya misal pengajarnya menyamarakatan kemampuan di suatu kelas adalah tingkat 1 sedangkan siswa nya tidak hanya berada di tingkat 1 namun ada yang sudah di tingkat 2 kemampuannya sehingga siswa yang kemampuan tingkat 2 itu akan terganggu perkembangannya.
Lalu apa hubungannya konsep pembagian kelas tersebut dengan stratifikasi sosial ?, menurut saya berdasar penjelasan diatas hubungannya adalah bahwa sekolah yang menggunakan konsep unggulan-reguler lah yang paling cocok dengan definisi stratifikasi sosial yaitu termasuk pengelompokan berdasar ilmu pengetahuan dan hal ini merupakan hal normal di masyarakat dan juga sesuai dengan Uu no 20 tahun 2003 pasal 5 ayat 4 yang berisi “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.”
Namun konsep pembagian kelas ini sangat sarat akan diskriminasi yang dimana kelas unggulan akan mendapat sarana dan prasarana yang sangat memadai dan kelas reguler mendapat sarana dan prasarana yang serba pas-pasan hal ini akan menyebabkan siswa saling berkompetisi tanpa mengenal kawan atau lawan kerena hal ini bukan hal yang tidak mungkin siswa nantinya ketika terjun ke masyarakat bersikap tidak mau kalah dan individualis dan memunculkan steorotipe “anak-anak di kelas unggulan adalah anak-anak yang pintar dan anak reguler adalah anak-anak yang bodoh” hal ini dapat saja menyebabkan stempel dari masyarakat pada siswa bahkan setelah mereka lulus dan jika in terjadi ini sama saja bahwa sekolah memproduksi diskriminasi tersebut.
Lalu untuk konsep pembagian kelas yang kelas terbuka walaupun tidak sarat akan diskriminasi namun jika mereka disamaratakan maka kepemilikan tiap individu akan tiada dan jika hal ini terjadi siswa tidak mungkin kehilangan motivasinya untuk meraih suatu karena dia tetap akan dapat perlakuan yang sama padahal mungkin saja usaha yang dia tempuh berbeda dari siswa lain padahal di dunia yang sekarang ini motivasi untuk meraih sesuatu dan pengakuan kepemilikan pribadi adalah hal yang penting bukan ? jikalau penting darimana lagi siswa akan belajar dimana hal penting ini selain di sekolah ? Maka manakah yang lebih baik anda yang dapat menentukan nya sesuai berdasar dampak-dampak yang diberikan.
Bukan pula dengan maksud memuji atau menghina, saya berani mengatakan bahwa seorang Dayak atau irian-pun, jika berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa dicapai suku bangsanya yang berada di desa dan di kota. Perbedaan orang Indonesia yang beradab dengan yang sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh perbedaan sekitar dan keadaan. Tan Malaka dalam Penjara ke Penjara jilid 3
Rujukan
Topatimasang, Roem. Sekolah itu candu. Diterbitkan atas kerjasama Pustaka Pelajar dan INSIST Press (Institut for Social Transformation), 1998. Soejono, Soekanto. “Sosiologi Suatu Pengantar.” Jakarta, Rajawali Pers (1990). Mu’ammar, M. Arfan. Nalar Kritis Pendidikan. IRCiSoD. Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
(***)