Jelang Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden
Oleh : Abdul Jabar
Kaum santri, kerap disebut `kaum sarungan’. Mengapa demikian? Penyebutan ini merujuk pada kebiasaan para santri dalam kesehariannya suka memakai kain sarung. Menurut catatan sejarah, sarung berasal dari itmur tengah. Dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia telah menjadi identitas tak terpisahkan dengan kaum santri. Hampir di semua pondok pesantren tradisional, para santri menggunakan sarung dalam keseharian.
Pada masa kolonialisme, sarung menjadi simbol perlawanan. Sebuah simbol untuk melawan kemapanan jas, dasi, dan celana panjang yang diperkenalkan oleh penjajah. Sikap itu terbawa sampai masa kemerdekaan dan menjadi identitas kaum santri. Sarung bukan hanya sebuah pakaian bagi golongan Islam tradisional, khususnya Nahdlatul Ulama (NU), tapi telah menjadi bagian integral dari identitas dan kebudayaannya.
Sarung hadir hampir di seluruh keseharian mereka, terutama dalam menjalani ritus keagamaan. Bisa dilihat dari anekdot di lingkungan NU yang kerap disalah artikan sebagai fatwa, bahwa tidak sah salat kalau tidak memakai sarung. Saking identiknya sarung dengan orang NU (nahdliyin), para pengamat pun melekatkannya untuk menyebut tindak tanduk mereka. Katakanlah istilah poitik kaum sarungan untuk menjelaskan kiprah dan manuver politik nahdiyin di Indonesia yang sangat panjang. Dari era perjuangan kemerdekaan, sampai turut memperjuangkan reformasi. Bahkan, Gus Dur yang menjadi presiden pertama produk pemilu pasca reformasi (199-2001) disebut sebagai presiden kaum sarungan. Julukan kepada Gus Dur tersebut saya kira tidak berlebihan. Harus diakui, Gus Dur lah yang membuat Istana Presiden lebih terbuka untuk masyarakat, termasuk kaum sarungan.
Di era Sukarno, penggunaan sarung di istana juga diizinkan bagi para ulama. Dalam sebuah forum, Megawati Soekarno Putri pernah bercerita, ayahnya menerima para ulama di Istana yang mengenakan sarung dan sandal. Mereka diizinkan memakai pakaian khusus karena punya peran dalam perjuangan kemerdekaan. Sampai-sampai, dalam sebuah kisah yang telah beredar luas diceritakan, KH Abdul Wahab Chasbullah datang memakai sarung, alih-alih celana panjang dan jas, ketika memenuhi undangan Presiden Sukarno ke Istana Negara.
Di era Abdurrahman Wahid, sarung jelas sangat diperbolehkan. Sang presiden bahkan beberapa kali terlihat mengenakan sarung dan sandal.
Begitu pula di era Presiden Jokowi juga sering terlihat mengenakan sarung di beberapa kesempatan baik di istana maupun di luar. Yang lebih menarik lagi bagaimana penampilan Ma’ruf Amin yang sudah dipastikan menjadi Wakil Presiden hasil Pilpres 2019. Tentu saja yang paling menarik adalah soal sarung. Apakah Ma’ruf Amin akan tetap bersarung nanti ketika melaksanakan tugas sebagai Wakil Presiden sebagai pakaian sehari-hari, termasuk saat diundang dalam acara kenegaraan di luar negeri? Apakah boleh tamu di istana memakai sarung? Tentu semua itu akan terjawab setelah pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin di ambil sumpah dalam sidang Paripurna MPR 20 Oktober 2019. Karena kita tahu bahwa memasuki Istana kepresidenan mempunyai aturan dan disiplin yang ketat dalam mengatur gaya berpakaian siapapun yang akan datang dan termasuk Presiden dan Wakil Presiden.
Yang lebih penting keberpihakan terhadap kaum sarungan saat ini sangatlah dirasakan melalui beberapa kebijakannya seperti terbitkan Keputusan Presiden (Keppres) nomor 22 tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional sebagai pengakuan terhadap resolusi jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari pendiri, NU serta lahirnya Undang-Undang Pesantren beberapa waktu lalu, ini bukti keberpihakan pemerintah terhadap kaum sarungan yang cukup besar kiprahnya di dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, peran santri juga tidak diragukan lagi.
Penulis Adalah Mantan Ketua PW. IPNU Banten Periode 2003-2006