CILEGON – Badan Karantina Pertanian melalui Karantina Cilegon melakukan pemotongan hewan bersyarat terhadap dua ekor sapi lokal dikarenakan hasil pemerikaan Laboratorium positif CFT ditemukan penyakit Zoonosis Brucellosis sp, yang masih dalam masa karantina di instalasi karantina hewan.
Karantina Cilegon telah berhasil mencegah terjadinya serangan/penularan Brucellosis ke Sumatera.
“Ini sangat penting dan strategis karena Sumatera adalah Wilayah Bebas Brucellosis,” ungkap Rifky Danial, Kasie Karantina Hewan melalui siaran pers, Kamis (28/2/2019).
Pemotongan bersyarat dihadiri dan disaksikan oleh petugas Karantina hewan, perwakilan pemilik sapi, petugas polisi KSKP dan Dinas Pertanian.
Tindakan karantina pemotongan bersyarat dilakukan setelah dipastikan dengan beberapa tahap pengujian laboratorium.
“Pemeriksaan Rose Bengal Test/RBT dilakukan di Laboratorium Karantina Cilegon dengan hasil uji positif. Selanjutnya dilakukan pengujian Complement Fixation Test (CFT) di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor yang sudah terakreditasi KAN dan dinyatakan positif,” ujar Rifky.
Rifky mengungkapkan bahwa sebelumnya pada tanggal 19 Februari 2019, petugas karantina hewan memeriksa 90 ekor sapi lokal asal Bekasi yang hendak dikirim ke Ogan Ilir dan Bengkalis. Setelah pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan fisik, petugas melakukan pengambilan sampel darah 100% untuk dilakukan pengujian Rose Bengal Test (RBT).
Hasilnya dari 90 ekor sapi tersebut menunjukkan 2 ekor positif RBT. Sementara itu 88 ekor dinyatakan negatif uji kemudian diberikan sertifikat kesehatan hewan, sedangkan 2 ekor yang positif tetap dalam pengawasan petugas di Instalasi Karantina Hewan. Sampel darah dari 2 ekor sapi positif uji RBT kemudian dikirim ke BBalitvet Bogor untuk dilakukan pengujian CFT lanjutan dan didapat hasil 2 ekor positif CFT.
Sementara itu Raden Nurcahyo, Kepala Karantina Cilegon mengatakan pemotongan bersyarat dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan berbagai faktor seperti kemungkinan tercemarnya lingkungan, tempat pemotongan harus segera dibersihkan dan disucihamakan.
“Perlu diperhatikan adanya cairan exudat dan sarang-sarang nekrose pada organ-organ viseralnya, dalam keadaan demikian seluruh organ visceral limfoglandula dan tulang harus dimusnahkan sedangkan daging boleh dikonsumsi setelah dilakukan pelayuan kurang lebih selama 9 jam dan dimasak,” ujar Raden.
Raden menjelaskan Brucellosis merupakan penyakit bakterial yang utamanya menginfeksi sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi. Di Indonesia, Brucellosis paling umum ditemukan pada ternak sapi dan sering dikenal sebagai penyakit Keluron Menular. Pada hewan betina, penyakit ini dicirikan oleh aborsi dan retensi plasenta, sedangkan pada jantan dapat menyebabkan orchitis dan infeksi kelenjar asesorius.
“Penyakit ini dapat ditularkan ke manusia atau bersifat zoonosis. Brucellosis pada manusia dikenal sebagai undulant fever karena menyebabkan demam yang undulans atau naik-turun. Manusia bisa tertular brucellosis melalui konsumsi produk hewani terkontaminasi yang tidak dilayukan dan dimasak,” terangnya.
Badan Karantina Pertanian berkomitmen dan senantiasa siaga untuk memastikan komoditas hewan yang dilalulintaskan melalui tempat pemasukan dan tempat pengeluaran dilaporkan, memenuhi syarat dan terjamin kesehatannya. (Man/Red)