Beranda Opini Kampus; Sudah Tumbang Dibungkam Tambang

Kampus; Sudah Tumbang Dibungkam Tambang

Nedi Suryadi

Oleh: Nedi Suryadi

Dalam catatan sejarah, kampus selalu menjadi ‘ancaman’ bagi stabilitas politik dan kenyamanan kekuasaan. Sebagai laboratorium gerakan mahasiswa dan produsen kelompok intelektual, kampus menjadi ‘alarm’ yang selalu siap siaga menyalakan tanda bahaya ketika kekuasaan mulai bertindak sewenang-wenang.

Menyadari hal itu, kekuasaan tentu saja tidak tinggal diam, upaya untuk meredam, bahkan membungkam dilakukan. Pikiran kritis dikikis bila perlu di babat habis.

Kebebasan intelektual kampus dikebiri, dan kontrol yang kuat kepada organisasi mahasiswa diperketat. Kampus yang seharusnya menjadi ruang kebebasan, malah menjadi penjara berpikir bagi mahasiswanya sendiri.

Begitulah sejarah, ia dicatat untuk diingat. Masih hidup dalam ingatan kita, tentang kebijakan pemerintah Orde Baru melalui SK menteri pendidikan dan kebudayaan, Daoed Josoef, Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kebijakan yang menjadi penanda sejarah kelam kampus di Indonesia.

Kebijakan ini adalah upaya depolitisasi kampus dan meredam aktivitas politik mahasiswa. Mahasiswa dilarang berpolitik ataupun beraktivitas yang berbau politik, mereka hanya cukup memahami politik dalam artian teori bukan praktik.

Aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah.

Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif, mahasiswa menjadi study oriented, aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah dan meraih IP yang tinggi. Kebijakan ini benar-benar menjauhkan mahasiswa dari realitas sosial yang ada dan membuat gerakan mengalami tidur panjang.

Setelah kebijakan orde baru ini ‘dibunuh’ oleh gerakan reformasi pada tahun 1998, pada era kepemimpinan Jokowi cara-cara yang menyerupai orde baru dihidupkan kembali. Pemerintah tidak menginginkan adanya oposisi.

Baca Juga :  Fiqih Zakat dan Dasar Hukumnya

Kritik dianggap akan memecah belah keutuhan NKRI, di kriminalisasi, dituduh ujaran kebencian, orang-orang jadi takut menyampaikan pendapat, paling berani mengganti kata Indonesia menjadi Konoha.

Dalam situasi seperti ini, saya membaca puisinya Widji Tukul, tetapi ada yang tega mengubah kalimatnya menjadi puisi satire ; “apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata; diam!”.

Iya, puisi satire ini ditujukan pada kita, rakyat yang tiba-tiba menjadi fans, pada kaum intelektual dan akademisi yang memilih absen, kepada dosen yang lebih senang memberi tugas, dan mahasiswa yang bergegas masuk ke dalam kelas.

Tiba-tiba, suatu hari diujung pemerintahan Presiden Jokowi, terdengar suara Megi Z menyanyikan lagu dangdut andalannya; “jangankan diriku semut pun kan marah bila terlalu sakit begini”, iya, lagu ini seperti suara alarm “peringatan darurat”, mereka yang masih terjaga dengan segera membunyikan kentongan, berlarian dari pos ronda membangunkan mereka yang masih pulas dalam tidurnya.

Gelombang gerakan mahasiswa kembali ke jalanan Senayan kota Jakarta, akademisi ramai-ramai mengeluarkan petisi kritik Jokowi, netizzen bersuka ria pesta pora di sosial media.

Langkah politik Jokowi dianggap sudah berlebihan, ugal-ugalan, demokrasi di cederai, reformasi dikorupsi, hukum dikangkangi, ambisi Jokowi tidak terkendali, cawe-cawe, melanggar etika, mengintervensi putusan MK, Jokowi di hisab rakyat di akhir hayat kepemimpinannya.

Terlepas kemunculan gerakan tersebut pada masa transisi pemerintahan, yang sarat dengan tarik menarik kepentingan, tetapi bisa dijadikan pertanda kebangkitan dari kampus yang sebelumnya hampir tumbang.

Gerakan Peringatan Darurat misalkan, sempat mendapat kritikan dari Rafiqa dan Mughis dalam tulisannya di Project Multatuli, mereka mengkritik gerakan Peringatan Darurat sebagai bentuk “aktivisme borjuis” yang dianggap reaktif dan moralis, tetapi dibantah tulisan Dodi di media yang sama, “aktivisme borjuis yang eksis lebih berharga ketimbang pengorganisasian berbasis kelas yang hanya dikepala”.

Baca Juga :  Libur Panjang dengan Harapan yang Tidak Normal

Bantahan terhadap gerakan juga dilakukan oleh lingkaran kekuasaan, beberapa Rektor di berbagai Universitas mengaku diminta membuat video untuk mengapresiasi kinerja Jokowi, sebagai kontra narasi.

Ada juga, BEM yang dibekukan setelah melakukan gerakan perlawanan, dan berbagai upaya pembungkaman sampai ancaman pembunuhan. Tapi kampus sepertinya masih bertahan, belum tumbang.

Tantangan kampus rupanya tidak sampai di situ saja, pemberian gelar Doktoral oleh Universitas Indonesia (UI) kepada Bahlil Lahadalia mulai melanda. Pemberian gelar yang bermasalah membuat para civitas akademika kembali resah.

Jika benar kampus sebesar UI melahirkan anak haram perguruan tinggi, hancur sudah citra kampus di Indonesia ini. Jika gelar Doktoral gadungan tetap diberikan, bisa membuat kampus kembali tumbang, beruntung gelarnya segera di tangguhkan, pun mungkin karena ketahuan.

Setelah hampir tumbang karena gelar gadungan, kini kampus akan di timpa tambang. Revisi UU Minerba, yang seperti biasa, prosesnya pro dan kontra, karena cacat hukum di mana-mana, kampus akan di berikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh pemerintahan Prabowo Subianto, seperti halnya pemerintahan Jokowi memberikan IUP kepada ormas Islam.

Tujuan pemberian IUP kepada kampus untuk menambah keuangan perguruan tinggi, dan meringankan beban pembayaran UKT kepada mahasiswa.

Tujuannya baik, tetapi bukan Cuma kelompok akademik, publik juga sudah terdidik untuk curiga terhadap tujuan baik, apalagi jika datangnya dari penguasa.

Tujuan baik dalam politik selalu ada motif, karena politik tidak cukup dilihat dari panggung depan, tapi harus ditengok dari belakang. Jika IUP ini nanti berjalan, motifnya tentu saja ingin membungkam kampus dari dalam.

Menjalani usaha tambang, tentu saja tidak sesederhana menjual buku foto copyan, atau dagang “seblak” di kantin belakang, tetapi ada sarat dan ketentuan yang tidak sembarang.

Baca Juga :  Keadilan Sosial untuk Masyarakat Perdesaan

Dari empat persyaratan, administratif, teknis, lingkungan, dan finansial, mana yang kira-kira dimiliki oleh kampus. Kebutuhan finansial untuk usaha tambang cukup besar, dan dampak lingkungannya belum ditemukan jalan keluar. Tenaga profesional saja bisa gagal, apalagi kampus yang masih dangkal.

Sebagai lembaga pendidikan, kampus kembalilah pada tujuan utamanya; mencerdaskan kehidupan bangsa. Didiklah mahasiswa menjadi manusia yang siap menghadapi dunianya. Didiklah publik dengan pandangan-pandangan yang objektif.

Didiklah kekuasaan dengan kritik yang konstruktif. Usia Indonesia masih panjang, butuh para pejuang pendidikan, jangan sampai Indonesia emas jadi Indonesia cemas, karena kampusnya tumbang dibungkam tambang.

Penulis adalah Direktur Sandekala Institut

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News