Beranda Peristiwa Peran Produsen Informasi Dalam Memutus Seksisme yang Masih Dianggap Remeh

Peran Produsen Informasi Dalam Memutus Seksisme yang Masih Dianggap Remeh

Fransisca Ria Susanti. (Audindra/bantennews)

SERANG– Seksisme di Indonesia masih sering dianggap sebagai permasalahan yang tidak serius oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Padahal, pandangan kuno ini jika terus dianggap remeh, memiliki efek bola salju seperti kekerasan, diskriminasi, dan pembatasan kebebasan.

Direktur Perhimpungan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Fransisca Ria Susanti mengatakan, memang langgengnya seksisme di kehidupan bermasyarakat mempunyai beragam faktor. Beberapa daerah di Indonesia merasa isu ini masih kurang penting.

Hal tersebut cukup bisa dimaklumi, karena kebanyakan daerah di Indonesia masih harus fokus dengan permasalahan seperti ekonomi, infrastruktur, dan kebutuhan dasar lainnya. Padahal perwujudan seksisme mencakup banyak hal yang berdampak langsung kepada hidup, seperti perilaku, gerak tubuh, hukum dan kebijakan, tradisi, gambar, tulisan, dan pidato.

Bias gender, kerap jadi penghambat orang untuk bisa memperlakukan semua gender setara. Bias gender yaitu kondisi yang memihak salah satu gender karena berbagai faktor, seperti pendidikan dari keluarga, dogma agama, dan lain sebagainya yang sifatnya sudah terintralisasi dalam pikiran seseorang.

Ria, mengatakan pentingnya media dalam pemberitaan kesetaraan gender. Tujuannya, untuk terus memperjuangkan agar perempuan dan laki-laki menikmati tingkat rasa hormat dan status yang sama di masyarakat, hak yang sama terhadap hak asasi manusai, dan peluang serta kemampuan membuat pilihan tentang kehidupan mereka.

“Jadi ada potensi sangat besar untuk menggaambarkan gender lebih berimbang, inklusif, dan beragam sehingga masyarakat kita lebih adil. Kalau kata Pramoedya Ananta Toer kan adil itu harus sejak dalam pikiran,” kata Ria saat acara brief media dan capacity building di Hotel Santika Premiere ICE BSD Tangerang Selatan, Rabu (22/1/2025).

Ia mencontohkan pandangan seksis yang masih kerap terjadi, misalnya seperti saat seorang ayah pulang kerja lebih awal demi menonton anaknya berlompa di suatu kompetisi, sang ayah akan dipandang sebagai ayah yang hebat.

Baca Juga :  Vokalis Jamrud Gagal Pencalonan Bupati Pandeglang

Sebaliknya, jika seorang ibu yang melakukan hal serupa, maka pandangannya adalah ia dicap tidak bertanggungjawab dengan pekerjaannya karena tidak bisa membagi waktu.

“Itu sebabnya kenapa kita mendorong kesetaraan gender,” kata Ria.

Media menurut Ria, punya tanggungjawab besar untuk membentuk pola pikir masyarakat mengenai hal tersebut. Sebaliknya, jika salah mengambil framing berita, maka pola pikir seksis pun bisa terus langgeng.

“Karena bagaimanapun, peran orang dari semua gender itu memiliki hak yang sama,” sambungnya.

Pemberitaan yang peka gender, harus dianggap sebagai prinsip utama produksi media profesional dan dianggap sebanding dengan nilai akurasi dan keseimbangan. Karena pemberitaan yang seksi, memiliki efek bola salju yang membentuk pola pikir masyarakat yang menuntun pada bagaimana ia bertingkah secara sosial.

“Gender harus dipertimbangkan di semua tingkatan produksi berita, dari departemen redaksi tempat keputusan dibuat tentang berita apa yang akan diliput, hingga lapangan tempat berita dikumpulkan,” ucapnya.

Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News