Beranda Hukum Pelaku Kekerasan Seksual di Serang Divonis Bebas, Guru Besar Fakultas Hukum Untirta...

Pelaku Kekerasan Seksual di Serang Divonis Bebas, Guru Besar Fakultas Hukum Untirta Angkat Bicara

Guru Besar Fakultas Hukum Untirta Rena Yulia. (IST)

SERANG – Publik dikejutkan dengan putusan bebas seorang ayah yang didakwa melakukan kekerasan seksual terhadap anak kandungnya sendiri. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Serang, majelis hakim memutuskan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, sebagaimana dalam dakwaan Pasal 81 ayat (3) UU Perlindungan Anak, subsider Pasal 81 ayat (2), atau Pasal 82 ayat (2) UU Perlindungan Anak. Putusan tersebut tercatat dalam Putusan Nomor 607/Pid.Sus/2024/PN.Srg.

Hakim mendasarkan putusannya pada pencabutan keterangan anak korban yang sebelumnya mengaku dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah disetubuhi oleh ayahnya. Namun, di persidangan, anak korban mencabut pengakuan tersebut dan menyatakan perbuatan tersebut tidak pernah terjadi. Anak korban mengaku telah berbohong karena merasa kesal terhadap ayahnya yang dianggap lebih memperhatikan ibu tiri dan anak-anaknya.

Hakim juga mempertimbangkan surat pernyataan dari anak korban yang meminta maaf karena telah membuat kebohongan, serta permohonan agar ayahnya dibebaskan. Dalam persidangan, anak korban tetap konsisten menyatakan bahwa ia telah melakukan hubungan dengan pacarnya, bukan dengan ayah kandungnya.

Pasal 185 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan saksi yang digunakan sebagai alat bukti adalah apa yang dinyatakan di persidangan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Rena Yulia menegaskan bahwa secara hukum, pencabutan keterangan BAP sah jika didukung alasan yang mendasar dan logis.

“Hakim telah memastikan kebenaran pencabutan keterangan tersebut melalui bukti tambahan, termasuk rekaman yang disampaikan dalam persidangan,” jelasnya.

Namun, Rena menggarisbawahi adanya potensi relasi kuasa dalam hubungan anak korban dan terdakwa. “Pernyataan anak korban di persidangan yang meminta terdakwa dibebaskan dapat menimbulkan pertanyaan apakah itu benar-benar murni tanpa tekanan,” ungkapnya.

Baca Juga :  Makam ABG di Tangsel Dibongkar

Rena juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan dampak psikologis dan sosiologis yang dialami korban. “Sebagai anak yang berada pada posisi rentan, seharusnya kerugian yang diderita korban menjadi perhatian, bukan sekadar kebenaran formal dalam persidangan,” tambahnya.

Lebih lanjut Rena memaparkan, bahwa dalam hukum pidana dikenal istilah victim impact statement, yaitu pernyataan korban terkait dampak kejahatan yang dialaminya. Pernyataan ini penting untuk mengangkat status korban dan memberikan pengadilan gambaran tentang kerugian yang diderita. Namun, dalam kasus ini, pernyataan anak korban justru membantah adanya kejahatan dan memohon pembebasan terdakwa.

Ia juga menambahkan bahwa penerapan sanksi atas keterangan palsu dari anak korban akan semakin menambah kerumitan dan ironi dalam kasus ini.

“Situasi ini melukai rasa keadilan masyarakat, terutama karena anak berada dalam posisi yang lemah dan rentan terhadap tekanan,” tegas Rena.

Penulis : Rasyid
Editor : TB Ahmad Fauzi

 

 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News