Beranda Opini Doom Spending Bersembunyi Dibalik Kata ‘Self Reward’

Doom Spending Bersembunyi Dibalik Kata ‘Self Reward’

Ilustrasi Doom Spending.

Oleh Asih Kurnianingsih

Belakangan ada fenomena yang menarik yang terjadi pada Gen Z dan Millenial : Doom spending. Dapat diterjemahkan sebagai ‘belanja bencana’ atau ‘belanja karna kecemasan’. Bukan hanya sekedar belanja secara impulsif atau berlebihan, tapi lebih merujuk pada belanja karna rasa cemas yang akan terjadi di masa yang akan datang. Lebih mirip dengan FOMO (fear of missing out) namun beda kondisi yang terjadi. Doom spending belanja karna rasa takut misalnya mengikuti diskon besar-besaran sehingga mengabaikan fungsi dari barang tersebut, sedangan FOMO, pembelian impulsif karna takut ketinggalan tren. Gaya hidup modern menciptakan fenomena konsumtif yang tidak terkendali dengan dalih ’Self Care atau Self Reward’. Hal ini diartikan sebagai cara mencintai diri sendiri atau memberikan penghargaan atas pencapaian pribadi.

Generasi Z dan Milenial disebut sebagai generasi yang kreatif dan inovatif tetapi memiliki kecenderungan berperilaku impulsif terutama dalam hal keuangan. Media sosial berperan penting terhadap perubahan pola pembelian dan mempercepat berlakunya Doom Spending pada seseorang. Kemudahan transaksi, banyaknya diskon dengan waktu transaksi yang terbatas, membuat seseorang tidak punya waktu untuk mempertimbangkan fungsi dari barang dan melakukan pembelian secara instan. Tayangan pada layar seperti; Iklan, flash sale, konten, review produk, hingga kemudahan pembayaran dengan system paylater, Credit card, COD (cash on delivery) dimana orang bisa terbawa arus yg kuat dengan berbelanja karna merasa bisa sedikit melepas penat dari hiruk pikuk permasalahan yang sedang terjadi.

Dalam kondisi tertentu, seseorang menciptakan ilusi bahwa belanja dapat mengatasi kecemasan dan stres, padahal justru memperburuk situasi finansial jangka panjang. Ciri yang paling umum Doom spending, membeli barang secara berlebihan tanpa mempertimbangkan konsekuensi anggaran atau kebutuhan. Pembelian dengan mendadak dan seringkali karna emosi tanpa bisa membedakan faktor kebutuhan atau keinginan.

Pengamat ekonomi mulai memperhatikan pola yang terjadi dan mendorong edukasi finansial bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam berbelanja. “apakah benar-benar butuh atau sebagai penghibur melepas penat?”

Memahami dibalik fenomena Doom Spending, masyarakat dihimbau lebih bijak dalam berbelanja baik secara langsung maupun online. Menyiapkan anggaran belanja bulanan menjadi peran penting dalam mengatur keuangan yang efektif. Menunda ketika memutuskan berbelanja dengan mempertimbangkan apakah produk tersebut sesuai kebutuhan atau hanya dorongan emosi sementara. Menyibukkan diri dengan kegiatan positif lainnya untuk mengatasi kecemasan akan masa depan. Dengan menyadari kesenangan sesaat dari Doom Spending, belanja sehat dapat benar-benar diterapkan dan sejatinya kebahagiaan tidak selalu datang dari aktifitas belanja.

Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomis Bisnis Unbaja dan Pengamat lifestyle, Financial Consultant.

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News