Beranda Politik Suara Kelompok Rentan Kota Serang di Tengah Pesta Demokrasi

Suara Kelompok Rentan Kota Serang di Tengah Pesta Demokrasi

Pemulung di Kota Serang. (Audindra/bantennews)

SERANG – Langit Kota Serang begitu terik hari itu. Panasnya bukan kepalang. Di hari yang cerah itu, Suhatma (52) mendorong gerobaknya berkeliling kota. Ratusan baliho di sudut-sudut kota sudah ia lewati sejak berangkat dari rumah. Ia sadar betul kalau itu merupakan tanda pesta demokrasi kedua di tahun ini tengah berlangsung.

Warga Cimuncang Cilik, Kecamatan Serang, Kota Serang, Banten itu sehari-harinya bekerja sebagai pemulung. Matanya sudah terlatih mencari kardus, plastik, atau apapun, asal bisa dipulung, dikilo, lalu dijual dan jadi uang. Sambil berteduh di baliho raksasa di sekitaran Pasar Royal ia sedikit bercerita tentang kesehariannya.

Jika hasil memulung sedang banyak, ia bisa mendapatkan uang kurang lebih Rp50 ribuan. Uang itu dipakai untuk kebutuhan sehari-hari istri, anak, dan orang tuanya di rumah. Sudah sejak tahun 2002 dirinya mengadu nasib di jalan.

“Saya juga dulu sebetulnya sempat kuliah terus ngajar abis itu ya gini aja,” kata Suhatma.

Suhatma enggan memberi tahu alasannya berhenti mengajar dan beralih profesi yang 180 derajat berbeda. Dengan kemeja lusuh dan topi yang tampak robek-robek, ia menjawab pertanyaan sambil memungut sampah.

Bagi Suhatma, pemilihan umum, baik presiden atau kepala daerah hanyalah kegiatan rutin lima tahun sekali. Di usianya yang sudah setengah abad lebih itu, Suhatma masih rutin jadi panitia di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Baginya, menjadi panitia hanya merupakan bagian dari bersosialisasi di lingkungan tempat tinggalnya. Tidak ada semangat ataupun keyakinan bahwa pemimpin yang baru akan membawa perubahan berarti.

Orasi kampanye para calon kepala daerah dengan rayuan-rayuan manisnya, sudah hilir mudik di kupingnya tiap masa kampanye. Ia seakan-akan sudah hapal betul rasanya dikecewakan tiap pemilihan. Dirinya mengaku bahwa keluarganya tidak pernah mendapatkan bantuan apa-apa dari pemerintah daerah.

Untuk bertahan hidup, hanya dengan kiloan barang bekas saja lah selama ini ia dan keluarga bisa bertahan. Pengalaman berkali-kali mencoblos jadi bukti bagi Suhatma bahwa berharap pada sosok bukan jalan mengubah garis takdir.

“Kalau masalah janji-janji (paslon) mah udah lumrah lah itu pasti ada. Kalau realisasi ya jauh. (Ibaratnya) setelah kita ngedorong mobil mogok setelah berjalan kita ditinggalin kan gitu,” kata Suhatma seraya tertawa.

Di lokasi yang berbeda, tepatnya di Alun-alun Kota Serang, seorang pria tua tampak duduk lesu di sebuah becak. Raut wajahnya tampak lelah. Sesekali ia turun dan menawarkan jasa transportasi miliknya kepada pejalan kaki yang sudah reyot dan kusam.

Para pejalan kaki yang ia tawari, menghiraukan begitu saja tawarannya. Moda transportasi yang bergerak dengan cara digowes dari belakang itu seperti sudah tidak memiliki peminat sama sekali. Kalah dari kendaraan roda dua yang mudah dipanggil hanya lewat gawai.

Pria tua tersebut bernama Muhammad Udin (70), warga Kelurahan Sepang, Kecamatan Taktakan. Sudah tiga hari becak kesayangannya sepi pelanggan. Karena tidak ada pemasukan sama sekali, untuk sekadar makan pun ia kerap kali hanya mengandalkan belas kasih orang lain.

Jika bisa dapat satu penumpang saja, ia mengaku sudah syukur sekali. Udin sudah tidak berani mematok harga mahal-mahal untuk sekali menarik penumpang. Cukup Rp10 ribu saja ia mematok harga dan itu pun penumpang masih diperbolehkan menawar.

“Tiga hari belum pulang, di sini (dalam becak) aja tidurnya,” kata Udin.

Udin saat ini hanya hidup berdua dengan anak bungsunya. Sudah lama sang istri meninggalkan dirinya lebih dulu. Ia jarang pulang ke rumah karena selalu nihil mendapatkan uang. Jangankan untuk anaknya, untuk makan diri sendiri saja sulit.

“Belum ada uang gimana mau pulang. Kadang ngutang di warung yang penting anak makan aja,” tuturnya.

Saat ditanya apakah ia tahu saat ini sedang masa kampanye Pilkada, Udin hanya tau dari mulai maraknya baliho terpajang di tiap sudut kota.

“Belum tau siapa siapa aja calonnya,” kata Udin.

Tiap pemilihan pemimpin baru, Udin selalu merasa tidak ada yang berubah. Hidupnya tetap sulit. Janji-janji yang kerap terdengar untuk menyejahterakan masyarakat seperti dirinya hanya menjadi angin lalu. Seumur-umur hidup di Kota Serang saja ia tak pernah dapat bantuan apapun.

“Seumur-umur ga pernah, sumpah saya. Cuma ngandelin ngebecak aja,” ucapnya.

Mantan kuli bangunan itu hanya merasa dapat manfaat dari masa kampanye hanya ketika ada pasangan calon yang melakukan bujuk rayu dengan kampanye seperti membagikan sembako atau uang tunai. Tapi pada tahun 2018 saat pilkada terakhir, ada cerita unik.

Saat sedang mangkal di alun-alun kota Serang, ia didatangi oleh tim kampanye salah satu calon Walikota untuk ikut memeriahkan kampanye mereka yang sedang berlangsung di lapangan alun-alun. Karena tahu akan dapat makanan atau uang, dirinya lalu ikut.

“Saya nungguin dari siang sampe malem (acara selesai) tapi satu pun ga dikasih apa-apa,” tuturnya.

Pada akhirnya, dari pengalaman yang sudah-sudah, hanya satu harapan Udin setiap pergantian pemimpin. Ia cuma ingin bisa makan. Tidak lagi muluk-muluk meminta perubahan agar dapat kerja yang layak karena usianya yang uzur. Ia minta bisa diberi makan oleh pemerintah daerah.

“Cuma pengen bisa makan terus aja ga susah gini. Tiap abis pemilihan bangunan (infrastruktur) mah berubah, tapi saya gini-gini aja,” harapnya.

(Dra/Red)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News