Oleh : Gema Iva Kirana
Dalam suasana pasca-Pemilihan Umum (Pemilu) yang menentukan arah politik dan kepemimpinan suatu negara, gelombang demonstrasi seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial-politik. Namun, di tengah kebebasan berekspresi tersebut, perlu diwaspadai potensi dimanfaatkannya demonstrasi sebagai alat untuk mengeksploitasi ketegangan politik oleh kelompok-kelompok tertentu.
Terutama, dalam konteks penolakan terhadap hasil Pemilu, aksi protes yang seharusnya menjadi saluran aspirasi rakyat dapat diintervensi dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak/kelompok kepentingan dengan agenda terselubung, membahayakan stabilitas dan persatuan bangsa.
Oleh karena itu, penting untuk merespons dengan bijak dan menekankan pada pentingnya menyelesaikan perselisihan politik melalui jalur hukum yang berlaku, menjaga keamanan serta mengedepankan dialog sebagai jalan menuju solusi yang damai.
Aksi demonstrasi yang digelar pada 1 Maret 2024 lalu telah memunculkan kekhawatiran adanya pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang ikut bermain dan berupaya memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingan kelompok tertentu.
Demonstrasi yang seharusnya menjadi wadah bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasi, dinilai telah mengganggu proses rekapitulasi suara Pemilihan Umum (Pemilu) yang sedang berlangsung. Upaya menolak hasil Pemilu melalui jalur demonstrasi justru dinilai tidak produktif dan berpotensi memperkeruh suasana.
Menyikapi hal ini, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk memahami bahwa negara telah menyediakan mekanisme hukum yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perselisihan terkait hasil Pemilu, yakni Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan membawa bukti konkret atas dugaan kecurangan ke MK, hal ini tidak hanya menghindari potensi kerusuhan, tetapi juga menegaskan komitmen untuk menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan aturan hukum yang berlaku.
Dalam konteks ini, penting juga untuk mempertimbangkan dampak sosial dan politik dari aksi demonstrasi. Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno, menekankan bahwa setiap demonstrasi rentan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik dan kelompok. Terkadang, di balik tuntutan yang disuarakan, tersembunyi agenda kelompok tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Fenomena seperti ini menjadi peringatan bagi masyarakat untuk tidak terpancing oleh isu-isu yang belum tentu valid, terutama dalam era digital di mana informasi dapat dengan mudah tersebar tanpa verifikasi yang memadai. Hoaks dan provokasi yang tersebar melalui media sosial dapat memperkeruh suasana dan memicu konflik yang tidak diinginkan.
Sebelum memutuskan untuk turun ke jalan dalam bentuk demonstrasi, penting bagi setiap individu untuk mempertimbangkan implikasi dari tindakan tersebut terhadap stabilitas dan persatuan bangsa. Mengingat situasi yang rawan, aparat keamanan juga telah melakukan persiapan untuk mengamankan jalannya aksi demonstrasi dengan tetap mengedepankan pendekatan persuasif dan humanis.
Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Susatyo Purnomo Condro, menegaskan pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban selama aksi demonstrasi. Dengan kesiapan yang telah dipersiapkan, aparat keamanan berupaya memastikan bahwa aksi unjuk rasa dapat berlangsung secara aman, tertib, dan kondusif. Masyarakat juga diminta untuk tetap mengedepankan dialog dan negosiasi sebagai sarana untuk menyelesaikan perbedaan pendapat.
Selain itu, perlu juga dipahami bahwa proses demokrasi tidak berakhir dengan berakhirnya Pemilu. Setelah pemilihan, semua pihak, baik yang menang maupun yang kalah, perlu bersatu kembali untuk membangun bangsa ini bersama-sama.
Dalam konteks ini, penting bagi pemenang untuk menghormati hak-hak minoritas dan berupaya memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir kelompok.
Menerima keputusan Pemilu dengan lapang dada merupakan sikap yang sangat penting dalam menjaga stabilitas politik dan sosial sebuah negara. Dengan demikian, kepentingan bersama dapat diutamakan dan proses pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Demokrasi bukan hanya tentang hak untuk menyuarakan pendapat, tetapi juga tentang kesiapan untuk menerima hasilnya.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, penyebaran hoaks dan berita palsu menjadi ancaman serius bagi stabilitas sosial dan politik. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk lebih kritis dalam menilai informasi yang diterima serta berupaya untuk memverifikasi kebenaran informasi sebelum menyebarkannya lebih jauh.
Dalam menghadapi tantangan pasca-Pemilihan Umum 2024, sikap bijak dan kesadaran akan pentingnya persatuan bangsa menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan kemajuan negara. Meskipun terdapat perbedaan pendapat politik, kita sebagai warga negara harus tetap bersatu dan menjaga keutuhan bangsa.
Akan selalu ada mekanisme yang telah disediakan negara untuk menyelesaikan perselisihan politik, dan mengedepankan dialog serta keadilan adalah langkah yang lebih bijaksana daripada turun ke jalan dalam aksi demonstrasi.
Dengan demikian, mari bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik, dengan tetap menghormati prinsip demokrasi dan supremasi hukum sebagai landasan utama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
)* Penulis adalah Kontributor Persada Institute