SERANG – Ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold (PT) 4 persen dinilai banyak membuang suara rakyat yang telah melaksanakan haknya pada Pemilu.
Pernyataan tersebut disampaikan Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute (TII) Arfianto Purbolaksono merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dalam amar putusannya, meminta pembentuk undang-undang mengatur ulang besaran angka dan prosentase ambang batas parlemen dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar lebih rasional.
“Ini (putusan MK) bukan menghasilkan multipartai yang ekstrem, tapi lebih bagaimana merepresentasikan suara rakyat, tidak membuang suara rakyat, dan juga bisa mendorong agar kinerja legislatif lebih baik lagi ke depannya,” katanya, Minggu (3/3/2024).
Menurutnya selama ini banyak suara rakyat yang terbuang akibat pemberlakukan Parliamentary Threshold i 4 persen.
Sedangkan menjawab kekhawatiran bahwa putusan tersebut dapat menimbulkan sistem multipartai yang ekstrem di parlemen, Anto memastikan bahwa hal itu tidak akan terjadi.
“Bagi saya ini bukan multipartai yang ekstrem. Kalau multipartai yang ekstrem itu kan memang bayangannya adalah terbagi dalam berbagai ideologi, ideologi partai politik, seperti (pemilu) tahun 1955 misalkan,” ujarnya. Melansir suara.com (jaringan BantenNews.co.id).
Terganjal Aturan Ambang Batas
Diungkapkannya, selama ini sistem perpolitikan parlemen di Indonesia selalu terganjal dengan peraturan ambang batas, hingga akhirnya banyak suara pemilih yang terbuang karena partai caleg yang dipilihnya tidak memenuhi parliamentary threshold.
“Adanya keputusan MK ini diharapkan ke depan menjadi representasi suara pemilih atau suara rakyat yang mana bisa menghasilkan parlemen yang cukup dapat meningkatkan kinerja fungsi-fungsi legislatif,”
Fungsi legislatif di parlemen, sendiri tersebut yakni kembali kepada fungsi-fungsi pengawasan, pembuatan undang-undang, serta menjaring aspirasi masyarakat.
Kondisi itu yang kemudian tidak ditemui dalam parlemen, yang kekinian cenderung bersetia kepada fraksi atau parpol.
“Bukan yang hanya seperti adanya saat ini, hanya menjalankan perintah ketua partai politik atau fraksi, terus juga hanya untuk ‘menjadi stempel’ dari undang-undang yang diajukan pemerintah, tapi diharapkan kinerja dari parlemen ke depan dengan adanya hal ini bisa lebih baik,” ujarnya.
Terkait adanya kekhawatiran bahwa putusan tersebut dapat menimbulkan sistem multipartai yang ekstrem di parlemen, ia mengatakan hal itu tidak akan terjadi.
“Bagi saya ini bukan multipartai yang ekstrem. Kalau multipartai yang ekstrem itu kan memang bayangannya adalah terbagi dalam berbagai ideologi, ideologi partai politik, seperti (pemilu) tahun 1955 misalkan,” ujarnya.
Menurutnya, putusan MK adalah untuk menegaskan agar suara rakyat tidak banyak yang terbuang serta meningkatkan kinerja legislatif.
“Ini (putusan MK) bukan menghasilkan multipartai yang ekstrem, tapi lebih bagaimana merepresentasikan suara rakyat, tidak membuang suara rakyat, dan juga bisa mendorong agar kinerja legislatif lebih baik lagi ke depannya,” tegasnya.
(Red)