Beranda Uncategorized Hoaks dan Ujaran Kebencian Bisa Pecah Belah Bangsa

Hoaks dan Ujaran Kebencian Bisa Pecah Belah Bangsa

Dialog kebangsaan bertema "Merawat Kebhinekaan dan Semangat Multikultularisme untuk Pilpres Damai dan Bermartabat" di Kota Serang, Banten. (Foto: Ade/Bantennews.co.id)

SERANG – Semangat persatuan dan nasionalisme bangsa Indonesia tengah diuji. Merebaknya kabar bohong atau hoaks serta ujaran kebencian menjelang pelaksanaan Pilpres 2019 yang berbalut agama menjadikan semangat persaudaraan di Indonesia kian mengkhawatirkan.

Politik identitas, semakin menambah semrawut pendidikan politik yang sehat di tanah air. Hal tersebut semakin menjamur dan kian mengakar di tengah masyarakat karena dampak negatif internet di tengah kaget budaya masyarakat Indonesia.

“Padahal kita tahu bersama bahwa itu urusan politik yang kemudian dikait-kaitkan dengan agama,” kata Ketua Umum Majelis Pesantren Salafiyah Banten, KH Matin Sarkowi dalam dialog kebangsaan di Kota Serang, Banten, Rabu (7/11/2018).

Dalam diskusi bertajuk “Merawat Kebhinnekaan dengan Semangat Multikulturalisme untuk Pilpres Damai dan Bermartabat” tersebut, Matin menyebutkan bahwa ada sekelompok orang yang memang tidak senang dengan kondisi bangsa yang damai.

“Persoalan ideologi negara ini sudah selesai oleh para pendiri republik ini. Orang yang tidak senang dengan itu, kemudian mencari-cari dan memaksakan format yang berbeda. Ini kan yang bermasalah,” kata dia.

Jika agama terus dijadikan komoditas politik untuk menggalang dukungan, lanjut dia, maka akan berbahaya untuk persatuan umat yang suadh terjalin.

“Indonesai itu beragam, Pancasila itu falsafah yang indah. Bukan hanya Islam, agama-agama lain pun yang memaksakan idiologinya sebagai sistem negara akan berbahaya. Bukan kami anti terhadap agama. Bahwa cara bernegara kita saat ini merupakan cerminan masyarakat yang beragama,” jelasnya.

Pengamat Politik, Surya Fermana menilai bahwa penyebaran informasi hoaks dan ujaran kebencian merupakan pola yang sudah dilakukan sejak lama. Ada banyak negara yang menggunakan pola tersebut untuk memenangkan salah satu kandidat pemimpin. Beberapa kasus di negara-negara tertentu, pola tersebut berhasil. Namun dampaknya, terjadi kerusuhan yang tak berkesudahan.

“Yang namanya perang hybrid itu bukan perang terbuka dengan senjata. Tapi melalui media sosial yang dapat mempengaruhi netizen. Makanya kalau mendapat potongan berita, video dan sebagainya jangan dikomentari. Karena itu akan menjadikannya viral,” jelas dia.

Jurnalis BantenNews.co.id, Wahyu Arya menilai budaya literasi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia begitu gampang terpengaruh dengan hoaks dan ujaran kebencian. “Di Indonesia hampir 143 juta pengguna internet di Indonesia, sedangkan minat membaca masyarakat Indonesia di urutan ke 60. Ini yang menjadikan salah satu penyebab masyarakat kita tidak kritis terhadap informasi,” kata Wahyu.

Selain itu, budaya lisan yang miskin verifikasi menjadikan masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan anak muda menjadi begitu mudah menyebar informasi tampa ada upaya verifikasi dan klarifikasi.

“Paling sering kita temui bahwa referensi menyebutkan ‘dari grup kelurahan sebelah’. Ini yang repot. Saya tidak ketemu ‘kelurahan sebelah’ itu di mana. Yang ada Kelurahan Cipocok, Kelurahan Kasemen dan sebagainya,” ujar Wahyu sambil berseloroh. (dhe/red) 

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News