KH MUHAMMAD DIMYATHI atau yang kerap disapa dengan panggilan Abuya Dimyathi atau Mbah Dim lahir sekitar tahun 1925 di Pandeglang, Banten. Beliau merupakan putra dari pasangan KH Muhammad Amin dan Hj. Ruqayah.
Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasan dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya, menjelajah tanah Jawa hingga ke pulau Lombok untuk mendapatkan ilmu dari para ulama.
Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa, di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri, Abdul Chamid, KH Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani.
Abuya Dimyathi merintis pesantren di desa Cidahu, Pandeglang, Banten sekitar tahun 1965, dan telah banyak melahirkan ulama-ulama ternama seperti Habib Hasan bin Ja’far Assegaf yang sekarang memimpin Majelis Nurul Musthofa di Jakarta.
Dalam bidang tasawuf, Abuya Dimyathi menganut Thariqah Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah dari Syekh Abdul Halim Kalahan. Tetapi praktik suluk dan tarekat kepada jama’ah-jama’ah Abuya Dimyathi hanya mengajarkan Thariqah Syadziliyah dari Syekh Dalhar, Watucongol, Magelang.
Abuya Dimyathi terkenal sebagai ulama kharismatik dan bersahaja. Masyarak menyebut beliau sebagai ulama Paku Banten. Dalam perilaku sehari-hari beliau tampak tawadhu’, zuhud dan ikhlas. Kehidupannya lebih banyak dihabiskan untuk ibadah, mengaji, dan berdzikir. Dalam hal makan, ia hanya makan sekadar dan secukupnya saja.
Abuya Dimyathi wafat pada malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M atau bertepatan pada 7 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 WIB. Beliau meninggal dunia dalam usia 78 tahun. Jasad beliau dimakamkan tidak jauh dari kediamannya di Cidahu, Pandeglang. Hingga kini makamnya selalu ramai diziarahi masyarakat.
Banten telah kehilangan sosok ulama kharismatik dan tawadhu’ yang menjadi tumpuan berbagai kalangan masyarakat untuk dimintai nasihat. Bukan hanya masyarakat Banten, tapi juga umat Islam pada umumnya merasa kehilangan beliau. (Ink/Red)