SYEKH YUSUF Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani (3 Juli 1626 – 23 Mei 1699) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Bersama Sultan Banten Sulten Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf berjuang melawan penjajah hingga ia dibuang ke Sri Lanka yang kemudian dipindah ke Cape Town, Afrika Selatan. Di tanah buangan, Syekh Yusuf tidak berhenti berdakwah. Ia merupakan salah satu yang menyebarkan dasar Islam di Afrika Selatan.
Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dengan Aminah. Ketika lahir ia dinamakan Abadin Tadia Tjoessoep atau Muhammad Yusuf,suatu nama yang diberikan oleh Sultan Alauddin (berkuasa sejak 1593 – wafat 15 Juni 1639, penguasa Gowa pertama yang muslim), raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibu Syekh Yusuf.
Sejak berusia 15 tahun, Syekh Yusuf telah diberi pendidikan agama Islam oleh guru Kerajaan Gowa, Daeng Ri Tassamang di Cikoang. Sekembalinya dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa. Kemudian pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf pergi ke Banten dan Aceh.
Pada tahun 1644, Syech Yusuf menunaikan ibadah haji dan tinggal di Mekkah untuk beberapa lama, dimana Ia belajar kepada ulama terkemuka di Mekkah dan Madinah. Syekh Yusuf juga sempat mencari ilmu ke Yaman, berguru pada Syekh Abdullah Muhammad bin Abd Al-Baqi, dan ke Damaskus untuk berguru pada Syekh Abu Al-Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Syekh Yusuf mempelajari Islam sekitar 20 tahun di Timur Tengah.
Selama Syekh Yusuf di Mekkah, Perusahaan Hindia Timur Belanda dan Inggris sedang berjuang menguasai wilayah Gowa, Makassar. Hal ini disebabkan oleh perdagangan rempah-rempah dan emasnya yang menguntungkan.
Ketika Sykeh Yusuf ingin meninggalkan Mekkah pada 1664, Makassar telah dikuasai oleh Belanda, sehingga ia tidak dapat kembali ke kampung halamannya. Sebaliknya, Syekh Yusuf justru pergi menuju Banten. Di sana ia disambut oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Ia tinggal di Banten selama 16 tahun hingga 1680. Kala itu, Pangeran Hajji, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa dengan dibantu kompeni melakukan perlawanan terhadap ayahnya.
Sultan Ageng Tirtayasa kemudian mengerahkan pasukannya, termasuk Syekh Yusuf pada 1683 untuk mengepung Pangeran Hajji. Sultan Ageng Tirtayasa sempat dikalahkan namun ia berhasil meloloskan diri bersama sekitar 5000 rombongannya, salah satunya Syekh Yusuf. Namun, pada akhir tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap, sedangkan Syekh Yusuf berhasil kabur. Untuk kedua kalinya, Syekh Yusuf bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul melanjutkan perlawanan terhadap kompeni hingga ke Tangerang.
Syekh Yusuf diminta untuk menyerah dengan janji pengampunan oleh Belanda. Namun, Belanda justru mengingkari janjinya dan justru menangkap Syekh Yusuf. Ia dipenjara di benteng Batavia. Karena curiga Syekh Yusuf akan melarikan diri, ia kemudian dipindahkan ke Ceylon pada September 1684. Kemudian pada 27 Juni 1693, Syekh Yusuf dibuang ke Tanjung menggunakan Kapal Voetboeg. Syekh Yusuf bersama 49 pengikutnya, dua istri, dua selir, dan 12 anak diterima di Tanjung pada 2 April 1694 oleh Gubernur Simon van der Stel. Mereka ditempatkan di daerah pertanian Zandvliet, jauh dari Cape Town.
Penempatan yang jauh ini untuk meminimalisir pengaruhnya pada budak Dutch East India Company (DEIC). Sayangnya rencana tersebut gagal. Daerah tempat Yusuf tinggal justru menjadi tempat perlindungan bagi para budak. Selain itu, komunitas Islam kohesif pertama di Afrika Selatan juga didirikan di sana. Sejak saat itu, pesan Islam mulai disebarluaskan ke komunitas budak Cape Town.
Syekh Yusuf meninggal dunia pada 23 Mei 1699. Para pengikut Syekh Yusuf di Afrika pun menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan menyebutnya sebagai Salah Seorang Putra Afrika Terbaik.
Jenazah Syekh Yusuf kemudian dibawa ke Gowa. Ia dimakamkan di Lakiung, pada April 1705. Untuk mengenang jasa-jasanya, pada 7 Agustus 1995, ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto berdasarkan SK Presiden No. 071/TK/1995.
(Ink/Red)