BANTEN – Selalu dipandang sebelah mata, film horor kini semakin menggeliat dan menjadi genre favorit penonton saat ini. Kesuksesan KKN di Desa Penari dan Pengabdi Setan menjadi salah satu bukti.
Namun sayangnya, tidak semua film horor memberikan kualitas, hingga banyak juga film horor yang nasibnya cuma satu atau dua hari di bioskop.
Peran bioskop juga memiliki pengaruh besar untuk kesuksesan sebuah film. Namun pihak bioskop juga memiliki hitung-hitungan bisnis, dengan nilai duit yang tak kecil. Maka, harus ada komunikasi yang baik antara pihak produser dengan pemilik bioskop.
Demikian pokok-pokok pikiran dalam acara dikusi film bertajuk “Film Horor Naik Kelas, Dari Grade B ke Genre Bergengsi” yang digagas Forum Wartawan Hiburan (Forwan) dalam menyambut Hari Film Nasional, yang digelar di Sanggar Teater Populer di Kebon Pala, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
Diskusi menghadirkan Sutradara Joko Anwar, Produser Film Firman Bintang, Ketua Organisasi perbioskopan Djonny Syafruddin, dan aktor senior Slamet Rahardjo bertindak sebagai tuan rumah.
Menurut Joko Anwar, kisah-kisah horor dalam film sudah hadir sejak teknologi sinematografi periode awal ditemukan. Joko juga menyebut bahwa film horor Indonesia sudah tayang di empat benua.
Joko Anwar mengemukakan, membuat film horor tidak mudah, karena semua elemennya harus presisi. Ada banyak pengulangan adegan, namun sineas selalau ditantang menyajikannnya secara berbeda. Sehingga penonton selalu merasa mendapatkan hal yang baru.
Meski begitu, kata Joko Anwar, film horor Indonesia memiliki banyak kelebihan yang bisa dieksplorasi oleh para sineas. Berbeda dari film Hollywood, Indonesia memiliki sektiar 42 jenis hantu yang bisa dikembangkan dalam cerita film.
“Bandingkan dengan Barat yang hanya menghadirkan tiga jenis, drakula, monster dan zombie,” kata Joko Anwar, yang sukses dengan film Horor Pengabdi Setan dan Perempuan Tanah Jahanam.
Sedangkan bagi produser Firman Bintang, dari 30 film yang diproduksi, 20 di antaranya film horor. Baginya, pasar film horor adalah menengah ke bawah. Menurutnya, bila ingin bermain di film horor, maka harus fokus pada kelompok tersebut.
Selama memproduksi film horor, Firman Bintang mengaku kesulitan mencari sutradara. “Banyak terang-terangan menyatakan tidak bisa, banyak yang tidak mau,” imbuh adik jurnalis senior Ilham Bintang ini.
“Selama ini saya banyak kerja sama dengan Nayato karena dia yang mau dan bisa memenuhi kriteria yang saya inginkan. Sebenarnya saya terbuka kerja sama dengan siapa saja,” ucapnya.
Selain kesulitan mencari sutradara, Firman Bintang juga mengaku kerap menemukan masalah dengan bioskop. Banyak film yang diproduksi Filman Bintang tak memenuhi target penonton karena keburu filmnya digulung oleh pihak bioskop.
Menurut Firman Bintang, menyelesaikan karya jadi film, baru setengah perjalanan bagi produser. Karena perjalanan berikutnya memperjuangkannya ke pengelola bioskop untuk menayangkannya, untuk mendapatkan layar.
Selama ini ada ketidakadilan bagi produser film dan sineas Indonesia, katanya. Untuk film impor, khususnya Hollywood, pengelola bioskop secara otomatis memberikan 300 layar sekali tayang. Sementara untuk film nasional hanya puluhan. Bahkan untuk hanya beberapa layar saja.
“Dan mereka tidak terbuka. Pernah film saya tayang bareng Iron Man, ya, hancurlah! Sehari tayang, langsung drop!” kenangnya. “Pernah juga film saya diadu dengan film nasional lain yang banyak bintangnya. Saya protes. Kalau saya diamkan, bunuh diri namanya,” kata Firman Bintang dengan nada tinggi.
Sementara Djonny Syafruddin sebagai ketua pengusaha bioskop meminta para produser untuk banyak dialog dengan para pengusaha bioskop. Film tentu diproduksi dengan modal. Bioskop juga dioperasikan dengan duit dan harus menggaji karyawan.
“Untuk satu layar bioskop, investasinya Rp2,5 sampai Rp5 miliar,” katanya seraya mengungkapkan saat ini ada 2 ribu layar bioskop di Indonesia, 1.600 layar di antaranya dikelola oleh jaringan.
Pengusaha bioskop dan produser harus sama sama cermat memetakan penonton. Dia ungkapkan pentingnya publikasi dan marketing. Wartawan memiliki peran sebagai pemandu masyarakat penonton.
Di daerah film Barat banyak yang tak laku, justru film lokal laris. “Di Cilacap, tempat bioskop saya, kabar Luna Maya didandanin jadi Suzzanna sudah ditunggu-tunggu dan ditanya-tanya kapan mainnya. Dan benar, 80 persen yang nonton ibu-ibu,” katanya. (Red)