(Refleksi Memperingati Hari Lahir Pancasila)
Oleh Prastiyo Umardani
Seiring dengan perdebatan yang biasa terjadi di kalangan milenial terkait Pancasila sebagai ideologi atau bukan, terlepas dari perbedaan itu sebagai seorang pendidik yang mengajar di sekolah menengah kesan yang masih sangat melekat hingga hari ini yaitu bahwa pengajaran Pancasila terutama disekolah dipelajari secara tidak memadai.
Pengajaran Pancasila masih terlalu fokus kepada sesuatu yang berbau history (sejarah) dalam hal ini bisa kita lihat dari literatur-literatur yang ada akan selalu memiliki narasi yang sama dan berulang, dari periode ke periode, hingga tahun berganti tahun itu seolah-olah sama. Padahal ada substansi yang lebih mendasar yaitu Pancasila sebagai staat fundamental norm (norma fundamental negara) selanjutnya sebagai weltanschauung atau sebagai satu sisi pandangan hidup dan yang terakhir sebagai philosophisce grondslag (filosofi) dasar negara.
Tiga hal itu dikemukakan oleh para founding fathers atau para pendiri negara terhadap Pancasila. Mereka para founding fathers memiliki harapan bahwa Pancasila seperti apa yang mereka kemukakan (philosophisce grondslag, weltanschauung dan staat fundamental norm). Akan tetapi ketika periode pemerintahan Orde Lama atau periode Ir. Soekarno berakhir mempraktikan Pancasila pada satu sistem yang sinkretik, memadukan berbagai macam aliran, mempraktikan berbagai macam aliran politik.
Pada era itu yang kita kenal dengan istilah NASAKOM, selesai era Ir. Soekarno lahirlah era Orde Baru Soeharto yang pengajaran Pancasilanya bersifat doktrinal. Pancasila diambil dari sudut pandang negara. Dalam hal ini seketika Pancasila berubah menjadi sebuah instrument politik seolah-olah negara mengatakan kepada rakyatnya bahwa ini adalah benda bernama ideologi Pancasila jika kalian tidak bisa melewati ini maka kalian harus kami (pemerintah) waspadai.
Pancasila dalam pada itu berubah bentuk pengajarannya menjadi sebuah doktrinasi hegemoni yang berubah menjadi instrument politik. Selesai era Orba masuk pada era reformasi. Polanya masih cenderung sama doktrinalnya akan tetapi lebih bersifat fragmentaris. Pemerintah kemudian mengeluarkan sebuah peraturan tentang tata cara mengajarkan Pancasila.
Kebijakan itu yang menjadi kekhawatiran penulis sehingga Pancasila yang seharusnya ada di tataran philosophisce grondslag yang berarti cara berfikir hingga mendasar. Sebagai contoh, mengapa Pancasila memiliki dua frasa tentang adil pada sila kedua: kemanusiaan yang adil dan beradab dan keadilan pada sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apa bedanya dua frasa itu, dan mengapa mengapa ada dua frasa keadilan.
Kemudian pada sila ketiga persatuan Indonesia dan bentuk negara kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengapa bukan negara persatuan? Apakah sama antara persatuan dan kesatuan atau justru terdapat perbedaan. Kemuadian terkait hubungan antara negara dengan rakyatnya pada sila keempat dan kelima. Pada hemat penulis, perlu ada kejelasan format hubungan negara dengan rakyatnya.
Sayangnya, sememtara ini kita belum memiliki itu semua. Lagi-lagi karena pengajaran Pancasila pada satuan pendidikan kita masih menggunakan narasi yang bersifat historik dan bersifat nilai. Philosophisce grondslag itu jika dianalogikan tentang keseluruhan pohon maka ‘nilai’ itu ada ditataran aksiologi atau ranting dan daun. Sedangkan philosophisce grondslag itu berbicara tentang nutrisi, akar, batang, cabang sampai daunnya.
Akan tetapi di bangku sekolah hanya pada tataran nilai tidak sampai pada philosophisce grondslag sehingga ketika banyak ideologi-ideologi modern dunia yang baru dan muncul kita justru cenderung gagap dan gugup dalam menanggapinya.
Alih-alim mambuat kita kritis terhadap nilai dari luar, malah banal dan tempramen penuh curiga isme-isme dari luar. Jika kita menoroka cara pandang buku Redefinisi Pancasila karya almukarom Hudjolly, Pancasila justru sebagai sebuah paradigma berfikir yang kritis yang melihat terma-terma dalam Pancasila secara objektif sebagai ilmu pengetahuan.
Amonisme merupakan paham global yang saat ini masih patut diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan ideologi rasaksa yang ada di dunia selain liberalisme dan kapitalisme tentunya. Bagaimanapun juga karena amonisme ada dalam diskursus dan ada dalam dialog kelas dunia yang bertebaran di semua negara tentu saja akan selalu muncul ancaman bahwa orang-orang akan tertarik pada pemikiran ideologi lain.
Persoalannya adalah apakah negara ini memiliki sistem pertahanan ideologi dan apakah negara ini telah memberikan edukasi dan pengertian yang memadai kepada rakyatnya tentang apa dan bagaimana ideologi itu. Pada tataran ini negara membiarkan rakyatnya untuk mengembara bahwa ideologi itu dimaknai secara umum dan bebas sehingga ada ketakutan-ketakutan dan luka pada masa lalu dan perbincangan mengenai ideologi dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan berbahaya.
Padahal jika mengutip Hannah Arendt, tidak ada pikiran yang berbahaya, karena berpikir sendiri sudah sangat berbahaya. Jika ada seseorang yang berfikir tentang sains atas ide-ide liberalisme tentu boleh-boleh saja. Lha wong namanya belajar, dari pemikiran paling kiri sampai pemikiran paling kanan mentok, misalnya tentu boleh. Ini zaman bukan lagi Orba yang mengontrol isi kepala hingga urusan ranjang rakyatnya. Melarang buku-buku dan mengatur jumlah anak dalam satu keluarga akan terdengar lucu untuk hari ini.
Dalam konteks melihat nilai strategis pembelajaran Pancasila hari ini, justru perlu kesegaran berpikir dalam merayakan tafsir tentang tafsir di ruang kelas. Ruang kelas adalah laboratorium berpikir siswa dengan guru sebagai pemantiknya. Model pendidikan macam ini tentu akan menarik dibanding harus membebek lembaga macam Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang justru bersifat administratif, kaku dan cenderung membosankan.
Sebagai penutup, marilah kita sebagai generasi milenial saling melihat Pancasila sebagai bagian dari perspektif ilmu pengetahuan sehingga mampu menghidupkan diskusi serta diskursus mengenai pengetahuan Pancasila dari mulai akar berfikirnya sampai kepada aplikasi di dunia nyata. Selamat Memperingati Hari Pancasila.
Penulis adalah pegiat lingkaR stUdi maSyarakat & Hukum (RUSH), menjabat sebagai Ketua IKA Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.