SERANG – Kegiatan Nyenyore & Kado Lebaran di hari terakhir ditutup dengan menu Bedah Buku Novel Yuni. Menghadirkan Ade Ubaidil (Penulis Novel), Firman Venayaksa (Pembedah) & Sanik Radi Fatih sebagai moderator, acara berlangsung dengan khidmat.
Firman Venayaksa mengatakan, Yuni merupakan proses alih wahana yang sudah biasa dilakukan di dunia kesenian. Terlebih di dunia sastra, hal tersebut bukan lagi hal baru. Banyak karya yang kemudian digubah ke bentuk yang lain.
“Kesenian tidak akan bisa terlepas dari kesenian lainnya. Yuni merupakan proses transformasi dari bentuk audio visual ke buku. Meskipun pada umumnya, lebih banyak buku yang kemudian beralih ke film. Tapi ini bukanlah hal baru, terlebih di dunia sastra,” terangnya.
Sementara Linda, salah seorang peserta bertanya mengapa dalam film Yuni dibuka dengan adegan yang cenderung fulgar. Sehingga menumbuhkan persepsi bahwa Yuni ini membawa semacam kesan meliberalisasi di ranah agama.
“Mengapa dalam filmnya, Yuni dibuka dengan satu adegan yang bisa dibilang fulgar. Bahkan beberapa grup di lingkungan saya mengatakan bahwa film ini mengandung unsur liberal dan melazimkan sesuatu yang bertentangan dengan agama?” tanyanya.
Firman Venayaksa kemudian menjawab, bahwa Yuni adalah wahana yang menjembatani antara realitas yang divisualkan. Diwujudkan dengan adegan, semiotik dan warna sebagai representasi kritik terhadap keadaan yang berlangsung di dunia sebenarnya.
“Jika publik kemudian membangun persepsi Yuni meliberalisasi agama, menurut saya lebih tepat dikatakan kalau Yuni meliberasi pilihan. Yuni ada sebuah subjek yang menjalankan unsur kritis. Melakukan perlawan terhadap konsep patriarki yang meraja di lingkungannya. Membawa gagasan bahwa perempuan tidak selalu menjadi second person dalam konsep feodal,” pungkasnya. (Red)
