Beranda Opini Keberkahan Seorang Guru

Keberkahan Seorang Guru

Seorang guru di salah satu sekolah Kota Tangerang saat mengajar - foto istimewa

Oleh : Bagoes MS

Tanggal 25 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Dilatarbelakangi oleh berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang menjadi wadah organisasi tenaga pendidik se-Indonesia, setiap tahun momentum Hari Guru begitu menggema di se-antero negeri. Sosok guru memang tak akan pernah kehabisan cerita, tak mungkin dipinggirkan dari perjalanan manusia, serta tak lekang oleh zaman untuk dikenang.

Beberapa hal yang menurut penulis menjadi faktor utama mengapa sosok guru begitu memesona adalah nilai-nilai adiluhung yang bercokol pada pribadi guru. Guru adalah profesi mulia yang sosoknya mesti memiliki kewibawaan. Seorang guru juga harus berbekal lisan tajam, yang akan mampu merobek sanubari seseorang saat menasihati muridnya. Dia akan didengar oleh muridnya, tentu saja sebab hatinya yang bersih. Selain itu tentu sosok guru mestilah memiliki otak brilian, yang menggenggam wawasan atau cara pandang penuh makna, alhasil dari kecerdasan guru lahirlah sosok siswa yang hebat. Kesemua itu hadir menjelma sebagai _nilai-nilai agung_ yang harus dimiliki guru.

Namun, satu poin yang tak kalah penting ialah ekses dari _nilai agung_ guru. Apa itu? Tak lain tak bukan akibat dari perbuatan-perbuatan baik dilakukan guru, akan menimbulkan hal baik pula, yaitu kehidupan yang dijalani oleh guru tersebut akan berlimpahkan keberkahan. Ya, berkah! Berkah menurut Imam Ghazali adalah _ziyaadatul-khoir_ atau kebaikan yang bertambah, berkembang serta langgeng terus. Setiap detik, setiap hari, bertambah terus kebaikannya. Dan kebaikan yang dilakukan itu atas ketaatan kepada Allah Swt.

Cerita keberkahan guru bukanlah satu atau dua kisah saja. Banyak penggalan kisah ajaib kehidupan guru yang telah kita dengar, karena keberkahan yang dimiliki guru. Satu di antara yang diangkat pada tulisan ini yaitu kisah guru-guru di era orde baru. Saat itu, guru identik dengan profesi yang tidak menjanjikan karena gajinya kecil. Sampai-sampai seorang Iwan Fals mencipta sebuah lagu legendaris berjudul “Oemar Bakri” mengisahkan seorang guru yang terkebiri padahal profesor, dokter, hingga seorang Habibie lahir berkat jasa guru.

Pada masa itu, perhatian pemerintah terhadap guru masih rendah. Lowongan pekerjaan guru (PNS) saat itu kurang laku. Mereka-mereka yang kuliah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) atau IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dianggap mahasiswa kelas dua, juga lantaran biaya kuliahnya yang termurah dibanding jurusan lain.

Tingkat kesejahteraan guru kala itu amat memprihatinkan. Dengan gaji kecil, banyak guru yang rela disebar ke wilayah lain, merantau meninggalkan tanah kelahiran, mengabdi di negeri asing, hanya dibekali dengan rumah dinas yang sepetak, letaknya di pinggir sekolah. Beras yang dikonsumsi dijatah oleh pemerintah melalui Sub-Dolog, yang kualitas berasnya hampir sama dengan beras raskin.

Banyak di antara guru juga menyambi pekerjaan lain, demi menopang keluarganya yang butuh tambahan biaya pendidikan. Ada yang menjadi tukang ojeg, ada juga yang membuka warung, menjadi penjahit, sampai menjual diktat/modul. Bahkan sampai muncul sebuah plesetan yang viral dengan sebutan ‘guru diktator’, tak lain kepanjangan dari “jual diktat untuk beli motor.”

Di tengah kehidupan guru saat itu yang penuh masa-masa sulit, hebatnya banyak juga muncul cerita-cerita ajaib dari para guru. Banyak guru-guru zaman itu sukses mendidik anak-anak mereka. Anak guru rata-rata menjadi anak berperestasi di sekolahnya. Betapa banyak kisah di antara anak-anak guru mendapat beasiswa di Perguruan Tinggi Favorit. Kemudian, hal luar biasa lainnya yakni banyak guru-guru sukses menyekolahkan anak-anaknya dan berpendidikan tinggi. Padahal secara nalar dengan gaji kecil, agak sulit guru mampu sampai menguliahkan anaknya. Namun, cerita itu nyata terjadi. Entah, apakah karena mereka rajin menabung, atau mereka mampu melihat kebutuhan primer dan menahan kebutuhan sekundernya, sehingga kehidupan guru kala itu amat sederhana.

Sepenggal kisah lain yang juga ajaib, banyak di antara guru yang mampu menunaikan ibadah haji dan berangkat ke tanah suci, termasuk mengajak suami/istri mereka ke Kota suci ummat Islam. Tak sedikit di antara guru selalu menempati posisi terhormat di masyarakat. Sebutan tokoh masyarakat senantiasa menghias nama mereka, guru di kampungnya. Rasa hormat, penuh takzim, dihargai begitu tinggi, dicintai masyarakat, dicari warga untuk diminta solusi dari permasalahan, mendapatkan kiriman-kiriman makanan/hasil panen dari murid/wali murid adalah fragmen-fragmen episode guru dalam kehidupan sosialnya. _Subhaanallah._

Lantas mengapa semua itu dapat terjadi? Penulis meyakini ini adalah faktor keberkahan dari pekerjaan guru. Dan keberkahan itu didapat tidak secara cuma-cuma, melainkan harus selalu bersanding dengan keikhlasan dan pengabdian. Berkahnya guru di zaman itu patut dicurigai karena faktor ketulusan dan kerelaan yang mendalam saat mengajar dan mendidik murid-muridnya. Dan patut dicurigai pula mereka guru yang tak meraih kebaikan-kebaikan tersebut disebabkan kurangnya ketulusan hati saat berprofesi menjadi guru.

Kini, di era sekarang, profesi guru telah menjadi primadona imbas dari kebijakan _remunerasi,_ mewujud pada meningkatnya penghasilan guru yang berbalut nama _sertifikasi._ Mereka para guru, utamanya para ASN harus sangat bersyukur dengan kondisi sekarang di mana pemerintah sangat perhatian dibuktikan dengan anggaran pendidikan sebesar 20% dan dibelanjakan sebagian besar untuk kesejahteraan guru. Hasilnya sangat terlihat dari kehidupan ekonomi para guru yang jauh lebih baik daripada dulu. Banyak guru yang kini berubah menjadi orang kaya, tak sedikit yang bergelimang kemewahan. Barang atau kebutuhan sekunder bahkan tersier kini dapat diperoleh dengan mudah. Rumah besar atau mobil bukanlah barang yang sulit didapatkan bagi guru sekarang. Kesemuanya merupakan hadiah dari profesionalitas guru.

Namun, seorang guru tetaplah guru yang mustahil meninggalkan kewajibannya mendidik dan mengajar. Dan itu takkan pernah bisa dilepaskan dari nilai keikhlasan, pengabdian dan pengorbanan. Di tengah kemudahan hidup, seorang guru mesti menjaga kompetensi kepribadian dan sosial.

Perlu digarisbawahi pula tentang nilai keberkahan, agar hakekat dan maknawi dari berkah itu tidak lenyap dan hilang, ditelan kesenangan hidup atau _hedonis_ yang justru menerpa guru zaman now. Jangan sampai fase kesejahteraan guru yang terus meningkat ini menjadikan guru lalai malah lupa untuk bersyukur.

Guru harus tetap berada di kelas, sebab kelas adalah gambaran futuristik peradaban bangsa. Maka, hendaklah dijaga ruh seorang pendidik agar tetap berada di kelas, bukan melayang melancong ke tempat lainnya seperti mall, restoran, hotel, atau bank. Jagalah ruh guru ini! Niscaya berkah akan didapati. Wallahua’lam.
Selamat Hari Guru Nasional 2021

(Penulis adalah seorang guru SMP di Kabupaten Serang.)

Temukan Berita BantenNews.co.id di Google News