Oleh: Juhji, Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
Tepat di tanggal 1 Muharram 1443 H bertepatan dengan 09 Agustus 2021 M waktu maghrib tadi, telah terjadi peristiwa bersejarah yang sangat penting dalam shirah nabawiyah, dimana Nabi Muhammad Saw beserta para sahabatnya 14 abad silam berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Tujuannya adalah untuk menyelamatkan diri dari ancaman pembunuhan, menyelamatkan umatnya dari berbagai tekanan, kedzaliman, ancaman, dan kekerasan yang dilakukan Kafir Quraisy kepada mereka selama di Kota Mekkah. Jika dikuak dari aspek sejarah, peristiwa hijrah memiliki hikmah yang masih esensial dalam kehidupan masyarakat abad 21.
Pertama, peristiwa hijrah mengajarkan kepada umat manusia bahwa segala sesuatu perlu perencanaan dan persiapan yang matang (planning). Perencanaan merupakan proses penentuan tujuan dengan memilih yang terbaik dari alternatif-alternatif yang ada. Dalam arti sempit, perencanaan merupakan proyeksi tentang apa yang dibutuhkan dalam upaya pencapaian tujuan. Dalam perjuangan misalnya, iman dan do’a saja tidak cukup.
Bisa jadi orang yang setiap malam berdoa namun tidak diiringi dengan persiapan, membuat perencanaan dan melaksanakan persiapan tersebut maka tentu buah kegagalan yang akan dipetiknya. Ini pernah disampaikan oleh Imam Ali bahwa man asa’a tadbiran ta’ajjala tadmiran (Siapa yang jelek perencanaannya, maka akan cepat kehancurannya). Dalam peristiwa hijrah, Nabi Muhammad Saw juga melakukan persiapan dengan perencanaan yang akurat, cermat, dan matang dengan pembagian job desciption yang baik.
Kedua, pendukung hijrahnya Nabi kebanyakan para pemuda. Sayyidina Ali bin Abi Thalib seorang pemuda yang gagah dan berani pernah menggantikan posisi Nabi untuk tidur di tempat Nabi tidur. Amir bin Tahirah, Asma (seorang pemudi), Abdullah bin Abu Bakar, dan Mas’ad bin Umair yang bertugas membuka jalan mereka semuanya termasuk golongan pemuda yang sangat penting dalam catatan sejarah hijrahnya Nabi.
Peran serta pemuda dalam sebuah perjuangan tentu mampu membawa sebuah keyakinan atas keberhasilan. Ini juga pernah diikuti oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno yang menyatakan: “beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Sebuah pekikan kalimat yang sempat melegenda dalam catatan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Ketiga, pentingnya arti disiplin. Seandainya saja, waktu itu Sayyidina Ali bin Abi Thalib tidak disiplin menggantikan posisi Nabi untuk tidur di tempat Nabi tidur meskipun beliau terancam jiwanya, mungkin peristiwa hijrah itu tidak terjadi. Seandainya saja, Abdillah bin Abu Bakar tidak melaksanakan tugasnya, tidak memberi tahu Nabi bahwa mereka sudah kelelahan dan tidak menemukan jejak, mungkin Nabi tidak jadi berangkat.
Sendainya saja, Asma tidak berangkat mengantar makanan, seandainya Amir bin Tahirah tidak menghapus jejak, mungkin peristiwa hijrah itu akan pernah terjadi. Dari rentetan peristiwa ini, kedisiplinan menjadi sorotan penting dalam sebuah tindakan dalam upaya pencapaian tujuan. Pun demikian dalam kehidupan, bahwa disiplin merupakan syarat untuk mencapai tujuan kehidupan yang diimpikan. Semoga bermanfaat.
(***)