Oleh : Dewi Ulfah Arini, S.Psi. MM, Psikolog, Dosen Prodi Akuntansi, Universitas Pamulang
Pandemik Covid-19 yang dimulai pada awal tahun 2020 dan masih berlangsung hingga saat ini, membuat duka mendalam bagi masyarakat Indonesia. Menurut data statistik belum ada penurunan kasus dari awal tahun hingga saat ini dimana kasus terinfeksi dan kematian makin terus meningkat. Belakang ini, varian Delta Covid-19 yang makin mengganas pun tidak hanya menularkan pada kalangan produktif dan usia senja, akan tetapi pada anak-anak dan balita sehingga makin bertambah kasus baru dan kematian.
Hingga saat ini kasus yang tercatat adalah 3,17 juta orang yang dinyatakan terinfeksi virus Covid-19, Pasien yang dinyatakan sembuh adalah 2,51 juta dan meninggal 83.279 orang yang sudah berjuang dan akhirnya meregang nyawa (Data Statistik Juli 2021, Kementrian Kesehatan RI). Upaya pemerintah untuk mengurangi laju perkembangan penularan virus sudah dilakukan dengan maksimal mulai dari PSBB dengan beberapa jenjang, penutupan arus datang dan masuk luar wilayah, memberikan vaksin cuma-cuma kepada hampir seluruh masyarakat Indonesia, mengedukasi dengan slogan 3 M sampai 5 M yang memudahkan seluruh masyarakat memahami dampak dan pentingnya menjaga kesehatan. Namun sampai saat ini masih belum dapat mengurangi laju perkembangan penularan virus.
Kehilangan orang-orang terkasih yang tiba-tiba di masa pandemik ini menyebabkan duka mendalam yang dialami oleh sebagian orang. Belum lepas satu berita duka, melalui laman media sosial dan pemberitahuan langsung dari rumah ibadah pun membuat perasaan duka kita semakin mendalam. Kehilangan seorang yang sangat penting keberadaannya dan bermakna dalam hidup (significant others) memberikan duka mendalam dan kepedihan hebat yang menghasilkan rasa lelah tanpa alasan, makan tidak nafsu dan sulit untuk tidur dan seringkali melamun.
Perasaan duka akibat kematian mempengaruhi sistem perasaan, pikiran dan perilaku yang dipicu karena kehilangan yang menyebabkan kelumpuhan emosi, tidak percaya, cemas akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai. Selain itu, Kehilangan seorang terkasih membawa perubahan dalam status dan peran, seperti status individu sebagai anak dan akhirnya kehilangan salah satu orangtua, kehilangan saudara tertua maka ia yang akan menggantikan, status suami atau istri yang kehilangan salah satunya dan berubah peran menjadi orangtua tunggal. Ini yang menjadikan seseorang tidak siap menerima pern baru secara tiba-tiba.
Teori yang dikenalkan dan dikembangkan oleh Psikiater Elisabeth Kubler-Ross berupa lima tahapan kedukaan (The Five Stages Of Grief) pada tahun 1969 dari penelitiannya berdasarkan wawancara pasien yang mengalami penyakit serius akibat kematian. Ia menyampaikan bahwa terdapat lima tahapan dalam mengatasi kedukaan yaitu :
1. Penyangkalan (Denial), ini adalah reaksi normal kita, ini merupakan pertahanan sementara untuk diri sendiri. Perasan ini akan tergantikan dengan kesadaran yang mendalam akan kepemilikan individu yang ditinggalkan karena kematian. Reaksi ucap yang muncul adalah “Saya merasa baik-baik saja”; “Ini ga mungkin terjadi, tidak pada saya” ; “Saya ga butuh bantuan dari siapapun.”
2. Marah (Anger), ketika masuk tahap kedua, inidividu akan menyadari bawah ia tidak dapat senantiasa menyangkal. Ini wajar, anda dihadapkan pada kenyataan yang baru dan sedang alami kesedihan. Luapan emosi dengan kemarahan mungkin terasa sebagai hal yang paling ‘benar dan sesuai’ menurut individu tersebut. Setelah kemarahan mereda, adan akan berpikir lebih rasional dan merasakan emosi lain yang selama ini tersingkirkan oleh amarah. Reaksi ucap yang muncul, “Kenapa ini terjadi pada saya?”; “Ini ga adil, kenapa dokter diam aja?”; “ Suster itu jahat, tidak perhatikan ayah saya saat di ICU?”
3. Menawar (Bergaining), disini adalah fase awal dari kebimbangan dimana muncul rasa putus asa dan kehilngan saling bersamaan di tahap kesedihan. Karena terlalu berduka sampai mau melakukan apa saja utuk meredakan rasa sakit dan duka. Salah satunya adalah tawar menawar. Pada tahap ini, anda akan memikirkan kalimat pengandai dalam kepala agar mendapatkan kekuatan dari kedukaan dan rasa sakit. Seperti “Kenapa bukan saya saja yang diambil, Tuhan?”; “ Saya akan melakukan apapun demi bisa bersamanya, beberapa hari lagi?”; “Seandainya saya dengerin keluhan terakhir dia, mungkin dia masih disini.”
4. Depresi ( Depression), Ada saat dimana anda dihadapkan pada kenyataan dan melihatnya secara nyata tanpa ada unsur emosi. Anda terpaksa menghadapi situasi sulit dan mengalami kesedihan serta kebingungan yang mendalam. Ada reaksi praktis dimana anda khawatir dan bingung terkait kondisi finansial, biaya pemakaman, cemas dalam mengasuh anak atau cemas menghadapi kondisi ekonomi kedepan. Bahkan akan muncul depresi pribadi dimana anda mungkin emnjauh dari oranglain untuk mengatasi rasa duka yang mendalam. Ucapaan yang kerap muncul adalah “apa maknanya?”; “Saya sudah tak punya semangat untuk hidup sekarang”; “ Saya merindukan orang yang saya cintai, kenapa harus melanjutkan hidup?” atau perkataan yang setara dengan maksud tersebut.
5. Penerimaan (Acceptance), pada tahap ini anda menerima kenyataan yang ada. Anda merasa sedh, namun anda belajar untuk hidup dengan situasi kini dan mencoba keluar dari fase kehilangan. Pada tahapan ini, anda belajar untuk menerima dan hidup dengan situasi terkini. Ucapan yang sering muncul adalah “I’m Gonna be OK”; “Saya ga bisa mengubah apa yang terjadi”; “semua yang terjadi pasti ada hikmahnya.”
Tahapan kedukaan, tidak senantiasa akan berada pada urutan seperti diatas, tapi setiap orang yang mengalami kedukaan dan kehilangan pasti akan melalui tahapan-tahapan tersebut. Setiap orang bisa saja menghadapi tahapan yang berulang dan ganti tahap sebelum menyelesaikannya, bisa saja tahap ini masa anger lalu kembali ke menyangkal pada hari berikutnya. Oleh karena setiap orang memiliki fase yang berbeda-beda pada tahapan kesedihannya. Kedukaan yang dialami oleh seseorang bukan saja pada kematian, tapi kehilangan pekerjaan, perceraian, menghadapi tragedi dan bencana atau putus dari pacar yang sudah lama sekali bersamanya.
Hal yang paling susah dari menghadapi kedukaan adalah mempersiapkan kehidupan tanpa orang yang telah tiada. Hal ini karena ketergantungan yang mendalam diantara kedua belah pihak. Inilah yang menjadi sumber kesedihan akut yang dialami oleh seseorang dan membuat kondisi kejiwaan yang ditinggalkan menjadi goyah dan terganggu. Namun kita perlu merelakan perasaan itu sama ketika mantan kita meninggalkan kita, Maka dengan merelakan seseorang yang telah meninggal adalah hal paling masuk akal untuk memulai hidup yang lebih baik. Disaat suasana sedih, kita sering dinasehati untuk tidak terlalu sedih, ini terasa klies dan kita menolak karena memang hanya dia yang kita inget. Lalu bagaimana ? bagi mereka yang kehilanagn dianjutkan untuk menangis hebat, beri waktu bagi mereka merasakan kepedihan di dalam dada.
Perasaan kepedihan hebat itu menghasilkan rasa lelah tanpa alasan, kehilangan nafsu makan dan seks, seringkali melamun dan sulit tidur. Ini adalah suatu hal yang wajar, karena ini adalah mekanisme normal yang terjadi bagi siapa saja yang kehilangan. Selanjutnya adalah meminta dia untuk mencoba dan memulai suatu hal yang baru seperti hubungan yang baru, hobi baru, pekerjaan baru atau tempat tinggal yang baru.
Tidak semua cara ini berhasil, yang terpenting adalah tetap memotivasi dan mendampingi untuk ia dengan memberikan kesempatan mencoba berdiri dengan kakinya sendiri agar dapat bangkit. Atau bisa juga dengna melakukan konseling pribadi atau konseling kelompok. Hal terpenting adalah, ungkapkan kesedihan pada orang terdekat anda atau psikolog terutama saat anda tak berdaya dan merasa sangat stress. Ini untuk mengurangi perasaan duka yang berlarut dan berangsur menerima kenyataan agar dapat kembali menata masa depan dengan perasaan lebih ringan.
(***)