SERANG – Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten, Ati Pramudji Hastuti mengungkapkan, molornya pembayaran insentif bagi tenaga kesehatan (nakes) di Rumah Sakit Umum (RSU) Banten lantaran menunggu turunnya petunjuk teknis (juknis) dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Dimana dalam juknis terbaru yang dikeluarkan terdapat perbedaan yang cukup jauh dibanding juknis penyaluran insentif nakes pada 2020.
Dijelaskan Ati, dalam juknis yang baru dikeluarkan pada akhir Maret 2021 lalu terdapat perubahan anggaran penyaluraan dari sebelumnya melalui Biaya Operasional Kesehatan (BOK) kini dirubah melalu Dana Alokasi Umum (DAU).
“Kalau (insentif) tahun 2020 langsung dari pusat melalui BOK. Kebetulan untuk (dana) 2020 Provinsi Banten itu untuk RSU Banten, Dinkes dan Labkesda (Laboratirium Kesehatan Daerah). Kita dapat anggaran sekitar Rp13 miliar untuk enam bulan, dan kenyataannya hanya cukup untuk tiga bulan. Makanya yang sisa tiga bulan lagi dari Oktober sampai Desember masuk dalam 2021,” jelas Ati, Kamis (8/7/2021).
Lebih lanjut, Ati menuturkan, untuk DAU juga harus melalui refocusing, dimana Daftar Pengisian Anggaran (DPA) baru masuk pada awal Juli lalu.
“Ditambah juknis dari Kemenkes baru disosialisasikan pada akhir Maret lalu. Dimana perbedaan lain dibanding penyaluran insentif 2020 yaitu pembayaran harus melalui aplikasi. Aplikasi itu baru terinput sekitar pertengahan April. April kita input lalu refocusing menunggu. ini sudah selesai tinggal proses verifikasi lewat RSU,” tutur Ati.
Ati mengaku, mendapatkan instruksi langsung dari Gubernur Banten Wahidin Halim untuk segera menyelesaikan proses administrasi para nakes yang bekerja di garda terdepan penanganan Covid-19.
“Kita disuruh ngebut oleh Pak Gubernur. Dan baru sampai kemarin, sampai bulan April yang baru terverifikasi. dan tiga hari ke depan kita kebut untuk Mei dan Juni,” katanya.
Saat disinggung adanya nakes yang tidak mendapatkan insentif, Ati mengungkapkan, dalam juknis yang baru, insentif hanya diberikan bagi dokter spesialis, dokter umum, perawat, apoteker yang langsung menangani pasien Covid-19.
“Kemudian siapa yang mendapatkan? tentunya yang melayani pasien Covid, dimana (ditunjukkan) ada surat perintah tugas dari pelayanan kesehatan, kalau rumah sakit dalam hal ini Direktur. Jadi siapa yang melayani pasien Covid dia yang dapat insentif,” kata Ati.
“Nah kemudian berapa jumlah tenaga yang dapat (insentif), bergantung berapa banyak pasien Covid yang ditangani. Kalau semakin banyak maka jumlah personel nakesnya banyak juga, dan setiap bulan beda-beda fluktuatif. Kadang banyak yang dapat karena jumlahnya (kasus) banyak. Jadi ada kategori di dalam juknis pasien jumlahnya segini harus ditangani segini,” sambungnya.
Menurut Ati, untuk tenaga administrasi dan pegawai Dinkes dalam juknis tersebut tidak akan mendapatkan insentif.
“Administrasi nggak masuk, pengennya masuk semua. Tapi kan kita ngga boleh dalam pemberian insentif harus mengacu juknis. Dinkes di juknis yang baru tidak diberikan insentif walaupun melakukan tracing, melakukan swab, melakukan perawatan isolasi mandiri (isoman). Tapi karena juknisnya ngga diberikan maka ngga diberikan,” ujarnya.
Saat ditanya nilai insentif yang didapat para nakes, Ati mengaku, besaran yang diterima bervariasi. “Nakes yang dapat variatif, berbeda-beda, bergantung dalam penanganan kasus. Kaya dokter spesialis maksimal Rp18 juta. Tapi bergantung hadir ngga? Kalau ngga hadir yah dipotong di juknisnya ada hitungannya,” tandasnya. (Mir/Red)