Oleh: Iip Syafrudin, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten
Pertama, sebagai bagian dari warga masyarakat Provinsi Banten, tentu kita patut bersyukur dan berbangga atas segala kemajuan yang telah dicapai oleh Pemerintah Provinsi Banten dan seluruh Kabupaten/Kota di provinsi ini. Penulis selaku bagian dari masyarakat, mengapresiasi segala bentuk kemajuan serta pelaksanaan kontinuitas pembangunan.
Tak dapat dipungkiri, sejak memastikan pembentukan Provinsi Banten 21 tahun lalu, realitas kondisi masyarakat, terlebih kaum di perkotaan, seakan take off dari segala macam keterpurukan. Berbenah diri, menyongsong kemajuan peradaban di Bumi Sultan ini.
Akan tetapi pasca 21 tahun Provinsi Banten berdiri, tanpa menihilkan kerja-kerja kebaikan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di bidang perlindungan anak, kita perlu ingatkan tentang beberapa PR yang belum dilunasi, khususnya oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sejak tahun 2002, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak. Sejatinya, sejak berpuluh tahun sebelumnya, sudah ada beragam undang-undang (UU) yang juga memuat pasal-pasal tentang anak. Namun, Undang-Undang Perlindungan Anak, sebagaimana namanya, bisa disebut sebagai puncak legislasi yang memberikan tempat istimewa bagi anak-anak Indonesia.
Realitas Perlindungan Anak
Saat ini kesadaran masyarakat terhadap tindak pelanggaran hak anak sudah meningkat. Salah satu indikatornya adalah, banyaknya masyarakat yang berani melaporkan segala bentuk dan aksi-aksi pelanggaran hak anak, baik kepada aparat penegak hukum atau lembaga dan instansi layanan anak lainnya. Hampir setiap saat baik dari media massa atau informasi dari manapun tidak ada hari tanpa kasus kekerasan, perlakuan salah dan pelemahan hak anak. Kadang bahkan jenis kasusnya tidak masuk di logika.
Hadir, ada dan prinsip pelayanan terbaik dari berbagai instansi/layanan perlindungan anak, terus tumbuh, baik dari pemerintahan ataupun instansi yang berbasis kemasyarakatan. Data bahwa pelaporan-pelaporan tentang upaya pendegradasian hak anak yang relatif terus terdengar bahkan meningkat, kita jadikan sinyal positif, bahwa masyarakat saat ini memang relatif mudah melaporkan, memberikan informasi dan menjadi data yang real tentang hal ini. Masyarakat dan instansi layanan relatif lebih responsif dalam menghadapi kasus-kasus yang melibatkan anak.
Pada saat yang bersamaan, media massa juga semakin meningkatkan perhatian terhadap isu-isu yang berkaitan dengan kekerasan anak. Berbagai media baik online, cetak, televisi dan radio saat ini gencar dan menjadi issue dengan rating cukup tinggi jika terkait bentuk pemberitaan/informasi tentang anak-anak, baik itu kegiatan yang positif dan atau informasi-informasi pelanggaran/kekerasan terhadap anak.
Pelayanan dan Intervensi Lebih Dalam
Lalu pertanyaannya, cukupkah hanya sampai pada upaya pelaporan saja lalu ditangkap oleh sejumlah media massa, menjadi viral masyarakat saja ?. Tentu tidak. Kelemahan yang tanpa disadari oleh instansi/lembaga layanan perlindungan anak adalah, hanya dengan cukup tersedianya data, tersaji pada statistik angka, lalu menjadi ajang evaluasi dan menjadi alasan untuk membuat suatu program.
Dalam upaya perlindungan anak yang komprehensif, Saya nyatakan hal itu tidak cukup. Ada jenis intervensi lanjutan lain yang harus dilakukan, misal, intervensi rehabilitatif kontinuitas, intervensi hukum, intervensi reintegrasi dan intervensi bantuan sosial. Semua intervensi lanjutan tersebut mempunyai tolok ukur, sasaran, target dan hasil masing-masing, by name, by case by intervention. Intervensi lanjutan ini yang kadang luput dari sasaran. Luput dari target para pemberi layanan.
Saya ambil contoh, anak yang menjadi korban dan atau pelaku kejahatan seksual. Pasca kasusnya terekspose di publik, lalu semua instansi/lembaga layanan ikut memberikan perhatian pada satu kasus tersebut. Semua media massa ikut memberitakan dan kadang menjadi headline. Lalu esoknya, kondisi kembali seperti biasa, seakan kejadian tersebut tak lagi menjadi fenomenal.
Padahal pada jenis kasus ini, proses sampai dengan putusan bersalah, pidana, denda atau hukuman apapun yang diberikan kepada pelaku, adalah menjadi tolok ukur dari upaya intervensi hukum bagi korban. Putusan Pengadilan yang berpihak pada kepentingan terbaik anak (korban) menjadi satu satu target yang harus diadvokasi kepada APH baik di kepolisian, kejaksaan dan pegadilan. Tak jarang putusan hukum di pengadilan tidak berpihak kepada korban. Sebab dari sekian banyak kasus yang masuk ke pengadilan, sebanyak 70 persen diantaranya selesai dengan vonis di bawah tuntutan jaksa. Artinya, laporannya meningkat bagus, ditindaklanjuti dan intervensi hukum lumayan, tapi di ruang pengadilan, hukumannya belum sungguh-sungguh. Artinya, antiklimaks di pengadilan.
Contoh kedua terkait intervensi rehabilitasi dan bantuan sosial. Saya ambil contoh dari anak yang tereksploitasi ekonomi. Terkini, diberbagai daerah di Banten, sekian banyak anak yang tereksploitasi dan dijadikan manusia silver oleh orang tua/wali/pengasuh. Lalu salah satu kasus meletup dan menjadi viral. Tentu tak cukup hanya sampai menjadi perhatian masyarakat saja. Harus dilakukan langkah dan intervensi lain, misal dengan dilakukan rehabilitasi fisik/psikisnya, pengubahan mindset anak dan dicarikan solusi alternatif ekonomi bagi para pengasuhnya, stimulus bagi kepala kelurganya, dan seterusnya.
Selain intervensi memberikan efek jera bagi para pelaku (hukum), proses rehabilitasi, pengubahan mindset dan solusi alternatif perekonomian ini menjadi langkah wajib dilakukan, agar para wali anak tidak lagi melakukan pola-pola eksploitasi ekonomi terhadap anak.
Akan tetapi, diluar daripada tindakan-tindakan dan layanan pascakejadian tersebut, tentu yang paling utama harus tetap dilakukan penguatan adalah pola dan program-program promotif preventif. Pola dan program pencegahan agar zero tolerance child abuse yang bersifat di hulu tetap menjadi standar utama dari setiap pelayanan perlindungan terhadap anak.
Harapan Perlindungan Anak Kedepan
Adagium bahwa anak adalah masa depan bangsa memang tidaklah terlalu berlebihan. Regenerasi tentu akan terjadi. Para pemimpin kedepan adalah sejumlah anak dan remaja yang saat ini menjadi kewajiban kita untuk menjaganya, memberikan kepentingan terbaik baginya. Melakukan kerja-kerja dan upaya perlindungan kepada mereka, anak-anak Provinsi Banten, baik pola preventif dengan melakukan program-program yang lebih menyentuh dari hulu persoalan anak.
Kemudian jika sudah kadung terjadi proses pelanggaran hak anak, maka dilakukanlah penanganan advokatif, rehabilitatif dan reintegratif, yang kesemuanya wajib untuk memakai tolok ukur masing-masing intervensi tersebut. Dengan dilakukannya proses-proses tersebut, besar harapan bahwa sekalipun anak sudah kadung menjadi korban dan atau pelaku, mereka masih tetap dapat diselamatkan jiwa raganya, fisik dan psikisnya, sehingga regenerasi sehat anak-anak di Provinsi Banten tetap bisa dilakukan, diselamatkan dan tidak terjadi Lost Generation.
Akhirnya, tulisan ini secara personal tentu mengingatkan diri penulis sendiri selaku ketua pada salah satu intansi perlindungan anak di Provinsi Banten, serta secara general, mengingatkan terhadap pemerintah dan masyarakat. Harapan anak-anak semakin lebih terlindungi dari segala bentuk pelanggaran haknya akan lebih baik dan semakin cerah lagi di tahun-tahun mendatang. Semoga
Wallahu’alam.
(***)