2019, Momentum Bangkit Kembali Pascatsunami
Oleh: Uday Suhada
“Oh negeriku sayang, bangkit kembali
Jangan berkecil hati, bangkit kembali.
Oh yang ditinggalkan, tabahlah sayang
Ini rahmat dari Tuhan, kita juga pasti pulang”.
Sepotong syair lagu “Harapan Tak Boleh Mati” karya maestro Iwan Fals di atas, mengandung pesan kuat yang memotivasi siapapun untuk bangkit kembali dari sapuan tsunami yang meluluh-lantakkan apa saja dan siapa saja di sepanjang pesisir Cinangka-Serang, Carita, Labuan, Panimbang, Tanjung Lesung hingga Sumur di Ujung Kulon-Pandeglang, sabtu malam 22 Desember yang lalu.
Kini, di detik-detik pergantian tahun, duka masih menyeruak. Selain ratusan jiwa terenggut. Rintihan pasien di sejumlah RS dan Puskesmas masih terdengar. Ribuan wajah buram, tatapannya kosong bingung akan tinggal dimana setelah darurat bencana yang ditetapkan oleh pemerintah selesai 9 Januari nanti. Sebab rumah mereka rata dengan tanah, gundah kemana lagi harus mencari anggota keluarga yang hilang.
Situasi sulit ini diperburuk dengan peristiwa yang (maaf) sangat biadab. Yakni pungutan biaya bagi keluarga yang hendak mengambil jenazah korban di RSUD Serang.
Begitu pula korupsi pembangunan Shelter Tsunami di Labuan, Pandeglang. Rasa keadilan masyarakat hanya dibayar dengan tuntutan JPU yang hanya 22 bulan dan vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim hanya nengganjarnya dengan hukuman 15 bulan penjara. Ini tentu membuat rakyat murka.
Momentum
Namun di balik itu, ada beberapa persoalan penting yang dapat diurai dan dibenahi dari peristiwa ini: pertama, penataan tata ruang daerah pesisir. Dimaklumi bersama bahwa Kementerian PU mengeluarkan kebijakan akan membangun rumah warga korban tsunami. Namun pembangunan rumah dimaksud tidak lagi menggunakan lahan di bibir pantai. Dibutuhkan lahan baru yang lebih aman dari resiko terjangan tsunami.
Kedua, Penataan dunia pariwisata. Banten dikenal memiliki pantai yang sangat panjang, dari wilayah Tangerang, Serang, Cilegon, Pandeglang, hingga Lebak. Sejak jaman Orde Baru (sejak Banten masih bagian dari wilayah Jawa Barat), hingga kini, ribuan bangunan hotel dan bangunan lainnya berdiri. Namun sebagian besar bertentangan dengan UU No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diubah menjadi UU No.1 tahun 2014; Perpres No.51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai.
Statement Menteri Pariwisata Arief Yahya yang menghendaki pembongkaran hotel-hotel dan bangunan lain yang melanggar peraturan-perundangan itu, adalah sikap yang patut diapresiasi. Sebab di dalamnya, selama ini ruang publik menjadi hilang. Selama ini masyarakat tidak lagi bebas memasuki wilayah pantai.
Ketiga, pemberantasan Pungli dan korupsi. Inilah saatnya bagi aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pemangsa uang rakyat. Pungutan biaya pengambilan jenazah korban tsunami serta aspek “etika moral” tentang tuntutan jaksa dan vonis hakim yang teramat ringan bagi para pemangsa uang pembangunan Shelter Tsunami adalah contohnya.
Inilah tantangan bagi Gubernur dan para Bupati/Walikota, adakah komitment kuat untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya. Ini adalah salah satu tolok-ukurnya.
Ini pula moment para pihak untuk mengawasi penyaluran dana bantuan, baik yang bersumber dari keuangan negara maupun pihak swasta dalam pelaksanaan pembanguan rumah korban tsunami. Moment yang tepat untuk bersama-sama memastikan kebijakan Kementerian Sosial RI, bahwa semua ahli waris korban tsunami mendapatkan santunan sebesar Rp.15 juta.
Jika persoalan di atas dilakukan dengan baik, insyaAllah mulai 2019 ini Banten akan lebih makmur.
Wallahu’alam. [¤]
Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP).